“Kebijakan
Fiskal”
Pemerintah
Soeharto menentukan beberapa kebijaksanaan dibidang anggaran belanja dengan
tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Tindakan ini pada dasarnya :
a. Anggaran
belanja dipertahankan agar seimbang.
b. Tabungan
pemerintah yang diartikan sebagai penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran
rutin diusahakan meningkat dari waktu ke waktu.
c. Basis
perpajakan diperluas menghindari pengalaman buruk 1959-60 dengan
mengintensifkan penaksiran pajakn dan prosedur pengumpulannya.
d. Prioritas
diberikan kepada pengeluaran produktif pembangunan sedangkan pengeluaran rutin
dibatasi.
e. Kebijaksanaan
fiscal diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maximal sumber
dalam negeri,tenaga kerja dalam negeri untuk mengembangkan produkssi dalam
negeri.
Sasaran
kebijaksanaan seperti ini sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah dinegara berkembang lainnya yang ingin mencapai stabilitas
pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan fiscal.
1.
Prosedur
Penyusunan APBN
Ada 3 macam anggaran
pendapatan dan belanja yaitu :
-
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) untuk pemerintah pusat. Unit kerjanya semua departemen misalnya
departemen dalam negeri, deparemen pendidikan nasional, departemen luar negeri
dsb.
-
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah) Propinsi untuk pemerintah provinsi. Unit kerjanya kantor gubernur dan
dinas-dinas seperti dinas pertanian, dinas pendidikan nasional, dinas agama
dsb.
-
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah) kabuoaten/kota untuk pemerintah kabupaten/kota. Unit kerjanya kantor
bupati/walikota dan kecamatan-kecamatan misalnya urusan kesehatan, urusan
pendidikan, urusan pertanian, dsb.
Memakai
system bottom-up artinya dimulai dari unit kerja paling bawah kemudian ke unit
kerja paling tinggi. Menyusun anggaran pendapatan dan belanja tiap tahun.
2.
APBN
Perubahan dan Realisasi
Dalam
pelaksanaanya sepanjang Tahun Anggaran (1 Januari sampai 31 Desember) sangat
mungkin terjadi perubahan dalam perekonomian sehingga asumsi yang digunakan
sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Tahun anggaran 2007 telah terjadi
harga kenaikan minyak mentah dunia, berturut-turut seolah tidak bisa distop. Perlu diadakan
penyesuaian APBN, karena perubahan harga bahan bakar minyak didalam negeri,
perubahan jumlah subsidi bahan bakar minyak dsb. APBN yang disesuikan itu
disebut APBN-P (APBN Perubahan). Demikian juga untuk 2008 terjadi perubahan
harga bahan bakar minyak mentah dunia, namun terjadi penurunan, bukan kenaikan
seperti pada tahun sebelumnya. APBN-P juga harus disusun. APBN-P dibuat setiap
tahun sekitar bulan Oktober oleh selalu terjadi perbedaan antara asumsi dan
kenyataan. Dalam penyusunan APBN-P juga diperlukan asumsi. APBN yang disusun
baik APBN awal maupun APBN-P adalah anggaran sehingga sangat mungkin berbeda
dengan angka-angka realisasi.
3.
Pembiayaan
Defisit Anggaran
APBN
maupun APBD bisa surplus, seimbang dan deficit. Dalam hal APBN yang surplus
dimana pendapatan Negara lebih besar dari belanja Negara, satu keadaan yang
jarang sekali terjadi. Kelebihan pendapatan dapat saja dipergunakan untuk
membiayai tahun berikutnya. Demikiah juga halnya dengan APBD yang surplus.
Namun beberapa tahun yang lalu beberapa Pemerintah Daerah mengalami surplus
dalam APBDnya dan sebagian/seluruh surplus tersebut dibelikan SBI (Sertifikat
Bank Indonesia). Satu hal yang oleh masyarakat dianggap kurang bijaksana karena
bagaimana pertanggungjawaban bunga yang diperoleh, dipergunakan untuk apa,
malah tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa hasil bunga dari SBI akan
merupakan sumber korupsi daerah.
Pada
masa pemerintahan Soeharto APBN selalu disusun agar seimbang (pendapatan Negara
sama dengan belanja Negara). Anggaran ini disebut balance budget. Kalau APBN
selama Orde Baru ditinjau dari tahun demi tahun, sesungguhnya tidaklah terjadi
keseimbangan, melainkan pada satu tahun terjadi deficit dan tahun lainnya surplus
namun pemerintah selalu mengatakan bahwa kebijaksanaan anggaran adalah anggaran
seimbang dalam jangka panjang. APBD pun sesungguhnya demikian keadaanya yakni
surplus/deficit, namun jumlahnya tidak begitu besar sehingga tidak
dipermasalahkan oleh masyarakat, sehingga seolah-olah terjadi keseimbangan
dalam APBD dan hal yang demikian ini dianggap hal ideal.
Pada
masa pemerintahan Sukarno (Orde Lama) pemerintah selalu mengalami deficit dalam
APBNnya. Karena penerimaan dari pajak sangat kecil karena pereknomian tidak
berkembang sedangkan pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan. Memakai
system deficit spending, kelebihan belanja dari pendapatan dibiayai dengan
mencatak uang. Pada masa pasca Suharto pun sering terjadi deficit dalam APBN
namun tidak dikatakan memakai kebijaksanaan deficit spending, oleh karena tidak
dibiayai melalui pencetakan uang. Pembiayaan deficit anggaran dibiayai dari
sumber dalam dan luar negeri
4.
Pola
Penerimaan Pemerintah
Kebijaksanaan fiscal
pada umunya terdiri dari penerimaan dan pengeluaran Negara/pemerintah.
Penerimaan pemerintah Indonesia dibedakan menjadi :
(a) Penerimaan
dalam negeri yang tidak lain daripada seluruh penerimaan baik yang berupa pajak
ataupun penerimaan bukan pajak.
(b) Hibah,
yang merupakan bantuan pihak ketiga kepada pemerintah baik yang datang dari
dalam negeri maupun luar negeri.
Penerimaan
dalam negeri dibedakan menjadi :
(a) Penerimaan
dari perpajakan (baik pajak langsung maupun tidak langsung baik didalam negeri
maupun pajak dari perdagangan internasional)
(b) Penerimaan
bukan pajak (PNBP) semua penerimaan Negara yang bukan pajak seperti halnya uang
sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit oleh departemen yang membuat
pembibitan untuk rakyat, aset milik pemerintah yang dijual kepada rakyat
seperti misalnya rumah dinas,mobil dinas
dsb.
Penerimaan
Negara dari pajak dapat dibedakan menjadi :
(a) Pajak
Dalam Negeri yang terdiri dari komponen : Pajak Penghasilan (Pph) dari Migas
dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Cukai dan Pajak Lainnya.
(b) Pajak
dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi ekspor.
5.
Pola
Pengeluaran Pemerinntah
Anggaran
belanja Negara/pemerintah terdiri dari anggaran untuk pemerintah pusat dan
anggaran untuk pemerintah daerah dimana anggaran untuk Pemerintah Pusat sekitar dua kali dari
anggaran untuk Pemerintah Daerah. Anggaran belanja untuk Pemerintah Pusat,
demikian juga keadaannya untuk Pemerintah Daerah dibedakan menjadi untuk
pengeluaran rutin (administrasi pemerintahan) dan untuk pengeluaran
pembangunan.
-
Anggaran rutin : pembayaran bunga hutang
dan pembayaran subsidi (BBM dan Non BBM).
-
Anggaran pembangunan untuk pemerintah
pusat : pembiayaan rupiah dan pembiayaan
proyek (dana luar negeri).
Anggaran belanja Negara
untuk pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana
otonomi khusus (+penyeimbang). Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil,
alokasi umum dan alokasi khusus.
6.
Pengaruh
APBN terhadap Jumlah Uang Beredar
APBN
adalah alat kebijakan moneter. Karena setiap rupiah yang diambil dari
masyarakat dan masuk ke kas Negara akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar
dimasyarakat. Setiap rupiah yang keluar dari pemerintah dipergunakan untuk
membayar gaji pegawai maupun membayar subsidi atau membiayai proyek pembangunan
akan meningkatkan jumlah uang beredar dimasyarakat. Semua aktivitas pendapatan
dan belanja Negara akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.
Apabila jumlah
(realisasi) pengeluaran Negara sama persis dengan jumlah (realisasi) penerimaan
Negara. Kalau realisasi APBN ternyata deficit sering disebut deficit spending
satu keadaan yang sangat biasa terjadi pada masa Orde Lama dibiayai melalui
pinjaman pada (uang muka) dari Bank Indonesia sebagai kasir Negara dan melalui
pinjaman jangka pendek (T-bill) kepada masyarakat. Pinjaman (uang muka) dari
Bank Indonesia bukanlah bersifat penarikan uang yang beredar dari masyarakat
sedangkan T-bill bersifat serapan uang dimasyarakat oleh pemerintah.
Apabila
realisasian bersifat surplus, penerimaan Negara lebih bsar daripada pengeluaran
Negara. Terjadi pada realisasi APBN Indonesia pada masa Soeharto sampai
sekarang dan dinegara maju. Realisasi APBN sebesar Rp 1000 triliun untuk
pengeluaran dan realisasi penerimaan Negara sebesar Rp 1.100 triliun. Dalam
keadaan demikian ini jumlah uang beredar berkurang sebesar Rp 1.100 triliun dan
bertambah sebesar Rp 1.000 triliun, sehingga akibat bersih APBN adalah jumlah
uang beredar berkurang sebesar Rp 100 triliun (sejumlah surplus pada realisasi
APBN).
7.
Kebijaksanaan
Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah
Anggaran
belanja pemerintah (dan anggaran untuk lembaga social) berbeda dengan anggaran
belanja rumah tangga pribadi. Dalam anggaran untuk rumah tangga pribadi
pertama-tama ditentukan penerimaan rumah tangga tersebut sebagai dasar untuk
menentukan anggaran pengeluarannya maka keadaan sebaliknya berlaku untuk
anggaran rumah tangga pemerintah dan lembaga social dimana ditentukan jumlah
pengeluran yang diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar dan
dimana saja beban belanja tersebut bersumber. Diumpamakan dana yang bersumber
dari pajak cukup dan hanya cukup tidak lebih dan tidak kurang untuk beban
pengeluaran pemerintah. Diumpamakan terjadi anggaran belanja seimbang. Baik
pengeluaran pemerintah maupun pajak, keduanya mempunyai pengaruh terhadap
penghasilan nasional.
(1) Pengaruh
Pengeluaran Pemerintah terhadap Penghasilan Nasional
Pengeluaran pemerintah
rutin dan pembangunan dibayarkan kepada masyarakat (pegawai dan pelaksana
pembangunan). Mereka menerima tambahan pendapatan. Mereka cenderung melakukan
tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Kecendrungan tambahan konsumsinya
disebut MPC (marginal propensity to consume) dan kecendrungan tambahan untuk
menabung MPS (marginal propensity to save). MPC biasanya dinyatakan dalam
proporsi terhadap penghasilan (Y) demikian MPS dinyatakan dalam proporsi
terhadap penghasilan (Y) sehingga MPC+MPS=1 kali besarnya penghasilan. Tambahan
konsumsi yang dilakukan oleh orang pertama tadi diterima oleh orang lain kepada
siapa konsumsi tersebut dilakukan (orang kedua). Orang kedua ini, karena
menerima tambahan pendapatan, juga cenderung melakukan tambahan konsumsi dan
tambahan tabungan. Tambahan konsumsi merupakan tambahan pendapatan bagi yang
menerima (orang ketiga) yang karena ada tambahan pendapatan juga cenderung
untuk melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Begitu selanjutya
proses berjalan sampai jumlah yang tidak
terhingga. Jumlah kenaikan penghasilan masyarakat sebagai akibat karena adanya
pengeluaran pemerintah adalah jumlah pengeluaran itu dikalikan dengan faktor
pengganda. Diumpamakan MPC dan MPS untuk setiap orang yang dikatakan di atas
sama (1,2,3,..) maka dengan memakai manipulasi aljabar dasar diperoleh faktor
pengganda sebesar k=1/MPS. Kalau setiap orang yang menerima tambahan
penghasilan mempunyai kecendrungan menabung sebesar 20% dari tambahan
penghasilannya maka k= 1/0,20=5
(2) Pengaruh
pajak terhadap Penghasilan nasional
Untuk membiayai
pengeluarannya, pemerintah menarik pajak dari rakyat. Pajak ini mempunyai sifat
mengurangi pendapatan dari mereka yang membayar pajak itu (orang 1). Karena
pendapatannya berkurang mereka cenderung mngurangi konsumsi (sebesar MPC kali
berkurangnya penghasilan) dan mereka cenderung untuk mengurangi menabung
(sebesar MPS kali berkurangnya penghasilan) yang mempunyai akibat lanjutan
terhadap mereka yang terkena pengurangan penghasilan. Demikian prosesnya
berjalan sama seperti logika pada pengeluaran pemerintah, sampai pada orang
yang tak terhingga, jumlah penghasilan masyarakat berkurang karena ada pajak
adalah sebesar pajak itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan perumpamaan
yang sama seperti pada pengeluaran pemerintah, faktor penggandanya dapat
diperoleh dengan memanipulasi aljabar dasar sebesar k=-(1/MPS-1). Kalau setiap
orang yang penghasilan bekurang sebesar tambahan pajak, mempunyai kecendrungan
untuk mengurangi menabung sebesar 20% dari jumlah pengeluaran penghasilannya,
maka k untuk pajak=-(1/0,20-1)=4
(3) Pengganda
untuk Anggaran Berimbang
Oleh karena dalam
anggaran berimbang, jumlah pengeluaran pemerintah sama dengan jumlah pajak,
maka akibat dari anggaran belanja yang seimbang terhadap penghasilan nasional
adalah (jumlah kenaikan penghasilan nasional karena pengeluaran pemerinth)
dikurangi (jumlah pengurangan penghasilan nasional karena adanya pajak). Karena
yang pertama adalah sebesar (1/MPS) kali jumlah pengeluaran pemerintan dan yang
disebut belakangan adalah –(1/MPS-1) maka tambahan penghasilan neto karena
anggaran seimbang adalah (1/MPS)-(1/MPS-1)= 1 kali anggaran berimbang tersebut.
(4) Tabungan
pemerintah dan pembangunan ekonomi
Pembangunan ekonomi
satu Negara dapat dibiayai oleh sumber-sumber dari dalam negeri dan luar
negeri. Tabungan pemerintah adalah semua penerimaan dari dalam negeri dikurangi
dengan semua pengeluaran rutin. Namun untuk Indonesia masih dikurangi lagi
dengan anggaran belanja untuk daerah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
pusat tiap tahun (bersifat rutin).
Sumber :
Nehen, I K. 2012.
Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP