Minggu, 12 Maret 2017

RMK PEREKONOMIAN INDONESIA SAP 10

RMK SAP 10
“Kebijakan Fiskal”
Pemerintah Soeharto menentukan beberapa kebijaksanaan dibidang anggaran belanja dengan tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Tindakan ini pada dasarnya :
a.       Anggaran belanja dipertahankan agar seimbang.
b.      Tabungan pemerintah yang diartikan sebagai penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin diusahakan meningkat dari waktu ke waktu.
c.       Basis perpajakan diperluas menghindari pengalaman buruk 1959-60 dengan mengintensifkan penaksiran pajakn dan prosedur pengumpulannya.
d.      Prioritas diberikan kepada pengeluaran produktif pembangunan sedangkan pengeluaran rutin dibatasi.
e.       Kebijaksanaan fiscal diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maximal sumber dalam negeri,tenaga kerja dalam negeri untuk mengembangkan produkssi dalam negeri.
Sasaran kebijaksanaan seperti ini sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah dinegara berkembang lainnya yang ingin mencapai stabilitas pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan fiscal.
1.      Prosedur Penyusunan APBN
Ada 3 macam anggaran pendapatan dan belanja yaitu :
-          APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk pemerintah pusat. Unit kerjanya semua departemen misalnya departemen dalam negeri, deparemen pendidikan nasional, departemen luar negeri dsb.
-          APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Propinsi untuk pemerintah provinsi. Unit kerjanya kantor gubernur dan dinas-dinas seperti dinas pertanian, dinas pendidikan nasional, dinas agama dsb.
-          APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kabuoaten/kota untuk pemerintah kabupaten/kota. Unit kerjanya kantor bupati/walikota dan kecamatan-kecamatan misalnya urusan kesehatan, urusan pendidikan, urusan pertanian, dsb.
Memakai system bottom-up artinya dimulai dari unit kerja paling bawah kemudian ke unit kerja paling tinggi. Menyusun anggaran pendapatan dan belanja tiap tahun.
2.      APBN Perubahan dan Realisasi
Dalam pelaksanaanya sepanjang Tahun Anggaran (1 Januari sampai 31 Desember) sangat mungkin terjadi perubahan dalam perekonomian sehingga asumsi yang digunakan sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Tahun anggaran 2007 telah terjadi harga kenaikan minyak mentah dunia, berturut-turut  seolah tidak bisa distop. Perlu diadakan penyesuaian APBN, karena perubahan harga bahan bakar minyak didalam negeri, perubahan jumlah subsidi bahan bakar minyak dsb. APBN yang disesuikan itu disebut APBN-P (APBN Perubahan). Demikian juga untuk 2008 terjadi perubahan harga bahan bakar minyak mentah dunia, namun terjadi penurunan, bukan kenaikan seperti pada tahun sebelumnya. APBN-P juga harus disusun. APBN-P dibuat setiap tahun sekitar bulan Oktober oleh selalu terjadi perbedaan antara asumsi dan kenyataan. Dalam penyusunan APBN-P juga diperlukan asumsi. APBN yang disusun baik APBN awal maupun APBN-P adalah anggaran sehingga sangat mungkin berbeda dengan angka-angka realisasi.
3.      Pembiayaan Defisit Anggaran
APBN maupun APBD bisa surplus, seimbang dan deficit. Dalam hal APBN yang surplus dimana pendapatan Negara lebih besar dari belanja Negara, satu keadaan yang jarang sekali terjadi. Kelebihan pendapatan dapat saja dipergunakan untuk membiayai tahun berikutnya. Demikiah juga halnya dengan APBD yang surplus. Namun beberapa tahun yang lalu beberapa Pemerintah Daerah mengalami surplus dalam APBDnya dan sebagian/seluruh surplus tersebut dibelikan SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Satu hal yang oleh masyarakat dianggap kurang bijaksana karena bagaimana pertanggungjawaban bunga yang diperoleh, dipergunakan untuk apa, malah tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa hasil bunga dari SBI akan merupakan sumber korupsi daerah.
Pada masa pemerintahan Soeharto APBN selalu disusun agar seimbang (pendapatan Negara sama dengan belanja Negara). Anggaran ini disebut balance budget. Kalau APBN selama Orde Baru ditinjau dari tahun demi tahun, sesungguhnya tidaklah terjadi keseimbangan, melainkan pada satu tahun terjadi deficit dan tahun lainnya surplus namun pemerintah selalu mengatakan bahwa kebijaksanaan anggaran adalah anggaran seimbang dalam jangka panjang. APBD pun sesungguhnya demikian keadaanya yakni surplus/deficit, namun jumlahnya tidak begitu besar sehingga tidak dipermasalahkan oleh masyarakat, sehingga seolah-olah terjadi keseimbangan dalam APBD dan hal yang demikian ini dianggap hal ideal.
Pada masa pemerintahan Sukarno (Orde Lama) pemerintah selalu mengalami deficit dalam APBNnya. Karena penerimaan dari pajak sangat kecil karena pereknomian tidak berkembang sedangkan pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan. Memakai system deficit spending, kelebihan belanja dari pendapatan dibiayai dengan mencatak uang. Pada masa pasca Suharto pun sering terjadi deficit dalam APBN namun tidak dikatakan memakai kebijaksanaan deficit spending, oleh karena tidak dibiayai melalui pencetakan uang. Pembiayaan deficit anggaran dibiayai dari sumber dalam dan luar negeri
4.      Pola Penerimaan Pemerintah
Kebijaksanaan fiscal pada umunya terdiri dari penerimaan dan pengeluaran Negara/pemerintah. Penerimaan pemerintah Indonesia dibedakan menjadi :
(a)    Penerimaan dalam negeri yang tidak lain daripada seluruh penerimaan baik yang berupa pajak ataupun penerimaan bukan pajak.
(b)   Hibah, yang merupakan bantuan pihak ketiga kepada pemerintah baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri.
Penerimaan dalam negeri dibedakan menjadi :
(a)    Penerimaan dari perpajakan (baik pajak langsung maupun tidak langsung baik didalam negeri maupun pajak dari perdagangan internasional)
(b)   Penerimaan bukan pajak (PNBP) semua penerimaan Negara yang bukan pajak seperti halnya uang sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit oleh departemen yang membuat pembibitan untuk rakyat, aset milik pemerintah yang dijual kepada rakyat seperti  misalnya rumah dinas,mobil dinas dsb.
Penerimaan Negara dari pajak dapat dibedakan menjadi :
(a)    Pajak Dalam Negeri yang terdiri dari komponen : Pajak Penghasilan (Pph) dari Migas dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Cukai dan Pajak Lainnya.
(b)   Pajak dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi ekspor.
5.      Pola Pengeluaran Pemerinntah
Anggaran belanja Negara/pemerintah terdiri dari anggaran untuk pemerintah pusat dan anggaran untuk pemerintah daerah dimana anggaran untuk  Pemerintah Pusat sekitar dua kali dari anggaran untuk Pemerintah Daerah. Anggaran belanja untuk Pemerintah Pusat, demikian juga keadaannya untuk Pemerintah Daerah dibedakan menjadi untuk pengeluaran rutin (administrasi pemerintahan) dan untuk pengeluaran pembangunan.
-          Anggaran rutin : pembayaran bunga hutang dan pembayaran subsidi (BBM dan Non BBM).
-          Anggaran pembangunan untuk pemerintah pusat :  pembiayaan rupiah dan pembiayaan proyek (dana luar negeri).
Anggaran belanja Negara untuk pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus (+penyeimbang). Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, alokasi umum dan alokasi khusus.
6.      Pengaruh APBN terhadap Jumlah Uang Beredar
APBN adalah alat kebijakan moneter. Karena setiap rupiah yang diambil dari masyarakat dan masuk ke kas Negara akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Setiap rupiah yang keluar dari pemerintah dipergunakan untuk membayar gaji pegawai maupun membayar subsidi atau membiayai proyek pembangunan akan meningkatkan jumlah uang beredar dimasyarakat. Semua aktivitas pendapatan dan belanja Negara akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.
                Apabila jumlah (realisasi) pengeluaran Negara sama persis dengan jumlah (realisasi) penerimaan Negara. Kalau realisasi APBN ternyata deficit sering disebut deficit spending satu keadaan yang sangat biasa terjadi pada masa Orde Lama dibiayai melalui pinjaman pada (uang muka) dari Bank Indonesia sebagai kasir Negara dan melalui pinjaman jangka pendek (T-bill) kepada masyarakat. Pinjaman (uang muka) dari Bank Indonesia bukanlah bersifat penarikan uang yang beredar dari masyarakat sedangkan T-bill bersifat serapan uang dimasyarakat oleh pemerintah.
                Apabila realisasian bersifat surplus, penerimaan Negara lebih bsar daripada pengeluaran Negara. Terjadi pada realisasi APBN Indonesia pada masa Soeharto sampai sekarang dan dinegara maju. Realisasi APBN sebesar Rp 1000 triliun untuk pengeluaran dan realisasi penerimaan Negara sebesar Rp 1.100 triliun. Dalam keadaan demikian ini jumlah uang beredar berkurang sebesar Rp 1.100 triliun dan bertambah sebesar Rp 1.000 triliun, sehingga akibat bersih APBN adalah jumlah uang beredar berkurang sebesar Rp 100 triliun (sejumlah surplus pada realisasi APBN).
7.      Kebijaksanaan Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah
Anggaran belanja pemerintah (dan anggaran untuk lembaga social) berbeda dengan anggaran belanja rumah tangga pribadi. Dalam anggaran untuk rumah tangga pribadi pertama-tama ditentukan penerimaan rumah tangga tersebut sebagai dasar untuk menentukan anggaran pengeluarannya maka keadaan sebaliknya berlaku untuk anggaran rumah tangga pemerintah dan lembaga social dimana ditentukan jumlah pengeluran yang diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar dan dimana saja beban belanja tersebut bersumber. Diumpamakan dana yang bersumber dari pajak cukup dan hanya cukup tidak lebih dan tidak kurang untuk beban pengeluaran pemerintah. Diumpamakan terjadi anggaran belanja seimbang. Baik pengeluaran pemerintah maupun pajak, keduanya mempunyai pengaruh terhadap penghasilan nasional.
(1)   Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Penghasilan Nasional
Pengeluaran pemerintah rutin dan pembangunan dibayarkan kepada masyarakat (pegawai dan pelaksana pembangunan). Mereka menerima tambahan pendapatan. Mereka cenderung melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Kecendrungan tambahan konsumsinya disebut MPC (marginal propensity to consume) dan kecendrungan tambahan untuk menabung MPS (marginal propensity to save). MPC biasanya dinyatakan dalam proporsi terhadap penghasilan (Y) demikian MPS dinyatakan dalam proporsi terhadap penghasilan (Y) sehingga MPC+MPS=1 kali besarnya penghasilan. Tambahan konsumsi yang dilakukan oleh orang pertama tadi diterima oleh orang lain kepada siapa konsumsi tersebut dilakukan (orang kedua). Orang kedua ini, karena menerima tambahan pendapatan, juga cenderung melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Tambahan konsumsi merupakan tambahan pendapatan bagi yang menerima (orang ketiga) yang karena ada tambahan pendapatan juga cenderung untuk melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Begitu selanjutya proses berjalan  sampai jumlah yang tidak terhingga. Jumlah kenaikan penghasilan masyarakat sebagai akibat karena adanya pengeluaran pemerintah adalah jumlah pengeluaran itu dikalikan dengan faktor pengganda. Diumpamakan MPC dan MPS untuk setiap orang yang dikatakan di atas sama (1,2,3,..) maka dengan memakai manipulasi aljabar dasar diperoleh faktor pengganda sebesar k=1/MPS. Kalau setiap orang yang menerima tambahan penghasilan mempunyai kecendrungan menabung sebesar 20% dari tambahan penghasilannya maka k= 1/0,20=5
(2)   Pengaruh pajak terhadap Penghasilan nasional
Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah menarik pajak dari rakyat. Pajak ini mempunyai sifat mengurangi pendapatan dari mereka yang membayar pajak itu (orang 1). Karena pendapatannya berkurang mereka cenderung mngurangi konsumsi (sebesar MPC kali berkurangnya penghasilan) dan mereka cenderung untuk mengurangi menabung (sebesar MPS kali berkurangnya penghasilan) yang mempunyai akibat lanjutan terhadap mereka yang terkena pengurangan penghasilan. Demikian prosesnya berjalan sama seperti logika pada pengeluaran pemerintah, sampai pada orang yang tak terhingga, jumlah penghasilan masyarakat berkurang karena ada pajak adalah sebesar pajak itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan perumpamaan yang sama seperti pada pengeluaran pemerintah, faktor penggandanya dapat diperoleh dengan memanipulasi aljabar dasar sebesar k=-(1/MPS-1). Kalau setiap orang yang penghasilan bekurang sebesar tambahan pajak, mempunyai kecendrungan untuk mengurangi menabung sebesar 20% dari jumlah pengeluaran penghasilannya, maka k untuk pajak=-(1/0,20-1)=4
(3)   Pengganda untuk Anggaran Berimbang
Oleh karena dalam anggaran berimbang, jumlah pengeluaran pemerintah sama dengan jumlah pajak, maka akibat dari anggaran belanja yang seimbang terhadap penghasilan nasional adalah (jumlah kenaikan penghasilan nasional karena pengeluaran pemerinth) dikurangi (jumlah pengurangan penghasilan nasional karena adanya pajak). Karena yang pertama adalah sebesar (1/MPS) kali jumlah pengeluaran pemerintan dan yang disebut belakangan adalah –(1/MPS-1) maka tambahan penghasilan neto karena anggaran seimbang adalah (1/MPS)-(1/MPS-1)= 1 kali anggaran berimbang tersebut.
(4)   Tabungan pemerintah dan pembangunan ekonomi
Pembangunan ekonomi satu Negara dapat dibiayai oleh sumber-sumber dari dalam negeri dan luar negeri. Tabungan pemerintah adalah semua penerimaan dari dalam negeri dikurangi dengan semua pengeluaran rutin. Namun untuk Indonesia masih dikurangi lagi dengan anggaran belanja untuk daerah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat tiap tahun (bersifat rutin).

Sumber :
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP

DAFTAR PUSTAKA
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP


RMK PEREKONOMIAN INDONESIA SAP 9

9.1       Uang dan Perekonomian
            Berbeda halnya dengan pada masa pertukaran barter, di mana belum dikenal mata uang, saat ini setiap negara mempunyai mata uang sendiri seperti misalnya Indonesia dengan rupiahnya, Amerika Serikat dengan dollarnya atau bergabung dengan negara lain seperti banyak negara-negara Eropa Barat dengan mata uang Euronya. Dalam perekonomian dengan memakai uang, banyak sedikitnya jumlah uang dalam peredaran menentukan lancar tidaknya aktivitas ekonomi. Uang yang beredar adalah likuiditas perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa uang memegang peran yang sangat penting dalam perekonomian. Pandangan yang demikian ini adalah moneteris. Pandangan yang berlawanan dengan itu adalah pandangan yang menyatakan bahwa uang itu tidak lain dari pada hanya selubung dalam perekonomian. Yang penting adalah kegiatan ekonomi riil, bukan dalam arti moneternya.
9.2       Teori Kuantitas
MV = Y
 
            Hubungan antara jumlah uang yang beredar dengan kegiatan ekonomi sudah lama dikenalkan oleh para ahli dan dikenal sebagai teori Kuantitas seperti berikut :
                                                                                                                        (1)
M = Jumlah uang yang ada dalam peredaran
V = Jumlah berapa kali satu mata uang berpindah tangan dari seorang, keorang lain dalam setahun
Y = Pendapatan nasional
 
Di mana :


Pada awal perekonomian dengan sistem uang, rumus (1) di atas hanya merujuk pada jumlah uang kartal, yaitu jumlah uang emas dan perak yang ada dalam peredaran. Pada saat itu jumlah uang giral sangat sedikit (dan dapat diabaikan) dibandingkan dengan jumlah uang kartal. Begitu sistem moneter suatu negara menjadi lebih modern, uang yang beredar bertambah dengan uang giral (uang yang bisa diterima atau ditolak oleh masyarakat dan bukan sebagai alat pembayaran yang syah) yang dapat ditarik dengan memakai cek. Jumlah uang kartal dan uang giral yang beredar dimasyarakat dikenal dengan istilah M1. Pada sistem perekonomian modern, uang kuasai, yang sering disebut uang dekat (near Money) berkembang dengan pesat. Uang kuasai ini berupa tabunganm deposito, kartu kredit dan ATM, sehingga jumalah uang yang beredar saat ini disebut M2, yang merupakan M1 ditambah uang dikuasai.
9.1.2    Velocity of Circulation (V)
            Untuk menghitung V melalui rumus (1) di atas dengan memakai M2 berarti kita mengumpamakan bahwa semua jenis uang (kartal, giral, dan kuasai) mempunyai kecepatan perputaran yang sama. Kalau seorang ingin menggunakan uang tabungannya dalam transaksi ekonomi, maka ia harus menarik tabungannya menjadi uang kartal. Dalam hal ini, uang kuasinya diubah menjadi uang kartal, sehingga uang kartalnyalah yang mempunyai perpindahan tangan, sedangkan uang kuasinya gugur (nilai Vnya satu). Namun uang kuasi dapat juga langsung dipergunakan dalam transaksi ekonomi tanpa mengubahnya menjadi uang kartal terlebih dahulu, yakni dengan memakai kartu kredit atau ATM dalam transaksi jual beli. Dalam hal ini nilai V untuk uang kuasi adalah satu (V=1) kali, meskipun seseorang berkali-kali memakai kartu kreditnya atau ATMnya dalam transaksi ekonomi.
            Seperti halnya uang kuasi yang mempunyai V=1, demikian juga keadaannya uang giral. Uang giral dipergunakan dalam proses jual beli dengan memakai cek atau bilyet giro. Jadi dengan demikian nilai V untuk uang giral sama dengan nilai V untuk uang kuasi yakni satu.
9.1.3    Faktor-faktor yang mempengaruhi uang beredar
            Dari laporan Bank Indonesia dapat diketahui bahwa faktor-faktor tersebut berasal baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Bertambahnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan menambah jumalah uang beredar, seedangkan sebaliknya berkurangnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang beredar. Faktor dalam negeri yang mempengaruhi jumlah uang beredar adalah tagihan kepada pemerintah dan tagihan kepada swasta. Tagihan kepada swasta jauh lebih besar dibandingkan tagihan kepada pemerintah dan kepada lembaga pemerintah. Seperti halnya dengan aktiva dari luar negeri, tagihan baik kepada pemerintah maupun kepada swasta yang positif berarti jumlah uang beredcar bertambah.


9.2       Kebijaksanaan Moneter
            Kebijaksanaan Moneter adalah setiap kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan harapan mempegaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Oleh karena kebijaksanaan moneter dalam arti luas ini juga menyangkut kebijaksanaan dalam bidang keuangan negara (Anggaran Pendapan dan Belanja Negara), dan hal yang terakhir ini difokuskan pada kebijaksanaan moneter dalam arti sempit, yakni yang menyangkut sistem perbankan saja.
9.2.1    Tujuan kebijaksanaan Moneter
            Tujuan kebijaksanaan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat dicapai dengan berbagai kebijaksanaan, baik di sektor moneter maupun kebijaksanaan di sektor riil. Kebijaksanaan di sektor monoter itu sendiri mungkin berupa mengendalikan jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money Laundering), laju pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta asing, dan sebaginya, dimana Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran moneter tersebut berdasarkan undang-undang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijaksanaan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan moneter dilakukan secara melihat kedepan (forward looking), artinya perubahan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijaksanaan moneter ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik.
9.2.2    Alat Kebijaksanaan Moneter
            Secara operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan moneter dapat menggunakan instrumen-instrumen berikut :
a.       Operasi pasar teruka di pasar uang rupiah maupun valuta asing
b.      Penetapan cadangan wajib minimum
c.       Penetapan tingkat diskonto
d.      Pengaturan kredit atau pembiayaan
e.       Kebijaksanaan lain yang dianggap perlu
Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah (prinsip bagi hasil).
a.       Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Alat kebijaksanaan ini juga dikenal dalam Bahasa Inggris sebagai Open Market Operation, dimana Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Instrumen yg digunakan dalam OPT meliputi : Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat Berharga, Penempatan Berjangka (term deposit) oleh Bank dan/atau pihak lain di BI, dan Valuta Asing. Kebijaksanaan yang diambil dalam OPT kontraksi ini adalah :
Ø  Menerbitkan dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada bursa (bank umum atau broker) sehingga likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia.
Ø  Fine tune kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum atau masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak reguler dengan jangka waktu bervariasi.
Ø  Menerbitkan dan menjual Surat Utang Negara (SUN) atau reverse repo SUN.
Ø  Sterilisasi valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar sport USD dalam rupiah ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan rupiah).
b.      Penetapan cadangan wajib minimum
Instrumen lain yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi likuiditas di pasar adalah melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro sehingga dikenal juga dengan nama Giro Wajib Minimum (GMW), yang tidak lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia.

c.       Politik Diskonto
Disamping kebijaksanaan pasar terbuka dan GNM, dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia juga menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga).
d.      Pengaturan kredit atau pembiayaan
Alat kebijaksanaan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah pengaturan kredit. Tujuan dari pengaturan kredit adalah untuk tindakan berhati-hati, menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir meminimumkan kredit macet.
e.       Kebijaksanaan Lain
Disamping alat kebijaksanaan di atas masih ada lagi alat kebijaksanaan yang dapat dan pernah dilaksanakan oleh Indonesia. Alat kebijaksanaan tersebut antara lain :
Ø  Bujukan moral (moral suasion)
Ø  Sanering
Ø  Pergantian uang
Ø  Devaluasi
9.2.3    Sifat Kebijaksanaan Moneter dan Hasilnya
Bekerjanya transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu. Masing-masing jalur berbeda dengan yang  lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suhu bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kebijaksanaan yang kuat. Misalnya penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan penurunan tingkat bunga yang besar. Misalnya kenaikan bunga yang hanya satu persen setahun ,akan memakan waktu lebih lama dibandingkan kenaikan tingkat bunga sebesar 80 persen setahun seperti pada akhir pemerintahan Soekarno atau sebesar 60 persen setahun pada akhir pemerintahan Soeharto.
Kesimpulannya kondisi sector keuangan,perbankan,dan kondisi sector riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. Bahwa kebijaksanaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau tidak efektif sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat malapetaka bagi perekonomian. Sehingga kebijaksaan moneter harus bersifat sedang dan sesuai dengan kondisi perekonomian.
9.3       Kelembagaan Kebijaksaan Moneter
Pada tahun pertama kemerdekaan terdiri dari sebuah bank central. Orientasi perbankan tertuju pada pembiayaan dan kelancaran untuk memperluas ruang lingkup kegiatan perbankan. Tahun 1952 terjadi perdagangan saham luar negeri dalam jumlah kecil pemerintah juga mengeluarkan obligasi. Lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik dalam keadaan harga yang relatif stabil. Indonesia masuk kedalam keadaan hiperintlasi, lembaga keuangan mengalami masa surut. Tahun 1965 bank umum tidak lagi menjalankan fungsi yang normal : inflasi telah merongrong kemampuan bank umum menarik dana dari masyarakat dan akibatnya kegiatan perbankan di bidang peminjaman menjadi tak berarti. Hanya berperan sebagai saluran pembiayaan deficit APBN. Bank umum swasta tutup hanya bank milik pemerintah yang masih bertahan. Tahun 1964 semua bank asing ditutup.
Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965 berusaha untuk mengurangi peran Negara di dalam kehidupan ekonomi, mengandalkan kekuatan pasar dan memberi kesempatan sector swasta mengambil peranan di dalam perekonomian. Bank-bank pemerintah merupakan unsur pokok dari system perbankan di Indonesia. Bank ini mempunyai hubungan khusus dengan bank central sehingga simpanan yang ada pada mereka terjamin. Bank pemerintah wajib memberi pinjaman kepada proyek khusus dan sector yang diprioritaskan oleh pemerntah. Perubahan secara resmi dicantumkan dalam UU Bank Sentral tahun 1968.
Bank umum milik swasta dan cabang bank asing menikmati iklim usaha yang lebih baik setelah tahun 1968. Bank swasta tidak berfungsi sebagai bank yang sesungguhnya hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan keuangannya. Awal 1970 bank swasta muncul sebagai bank yang sesungguhnya dan menerima simpanan dari perusahaan nasabah mereka dan juga memberikan kredit kepada mereka. Setelah 1972 bank asing membuka kantor perwakilan dan member dampak positif terhadap perkembangan sector keuangan di Indonesia. Perkembangan kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam jumlah besar kedalam negeri.
Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan untuk pertama kalinya dengan nama Paket Juni (PakJun) 1983. Memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Diperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Lima tahun setelah PakJun , pemerintah mengeluarkan Paket 27 oktober 1988 (Pakto88). Aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Dengan modal Rp.10 miliar siapa saja bisa mendirikan bank baru. Bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Reserve requirement bamk local diturunkan dari 15% menjadi 2%. Pakto 88 mengubah kehidupan perbankan nasional.
Jumlah bank tumbuh dari 111 pada maret 1989 menjadi 176 bank pada maret 1991. Tahun 1992 jumlah bank 17 ribu buah , 8400 diantaranya adalah BPR. Banyak dana luar negeri masuk lewat pasar modal, untuk mendirikan bank di Indonesia. Menjamurnya bank-bank gelap memanfaatkan pertumbuhan bank untuk mendapatkan bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga membuka lembaga keuangan non bank sebagai alat untuk memobilisasikan dana jangka panjang untuk membiayai investasi perusahaan. Lembaga ini didirikan dalam bentuk kongsi antara mereka yang mempunyai kepentingan perbankan didalam negeri maupun diluar negeri. Lembaga ini berfugsi seperti bank meskipun tidak menerima giro dan cenderung mempunyai nasabah perusahaan-perusahaan besar. Bursa efek dihidupkan dan disempurnakan.
Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja , mobilisasi dana deposito dan tabungan semakin kompetitif. Banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank. Pertimbangan pemerintah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 sampai 1994 untuk menguatkan perbankan di Indonesia.
Tahun  1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksaan yang mengatur syarat bahwa modal sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8% dari seluruh aset, diyakini banyak bank mempunyai kecukupan modal sangat rendah, dibawah 5% malah ada yang negative. Maret 1992 pemerintah mengeluarkan UU perbankan no 7 yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru yakni : susunan organisasi, permodalan, kepemilikan ,keahlian dibidang perbankan ,kelayakan kerja dll. Menaikan modal minimum dari Rp.10 miliar menjadi Rp. 50 miliar pertumbuhan bank baru masih terus berlanjut hingga 1994. Banyak bank dikusasai oleh konglomerat yang menyuburkan praktek pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya yang dianggap masih terlalu lunak.
Meledaknya jumlah bank diikuti kompetisi perekrutan tenaga kerja, terjadi heboh pembajakan karyawan bank. Dalam hal mobilisasi dana masyarakat dan usaha untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati-hati dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan, tingkat bunga tinggi yang akhirnya diikuti oleh kredit macet yang menggunung. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan para konglomerat pemilik bank terjun ke dunia politik untuk memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber daya ekonomi yang berujung ada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit bantuan likuiditas yang disalahgunakan.
Pembenahan dan penguatan system perbankan masih terus dijalankan, misalnya melonggarkan aturan soal CAR, pemberian kredit bagi grup usahanya, pengaturan kredit usaha kecil, cadangan wajib minimum bagi perbankan,dll. Juli 1997 ditentukan pembatasan pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembangan property dan kebijaksaan dan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya kredit macet dibidang tersebut. Pengumuman pemerintah pada 1 November 1997 untuk melikuidasi 16 bank secara serenta dan 22 April 1998 mengumumkan 54 bank dimasukkan kedalam program penyehatan dibawah BPPN. Sejumlah bank lain  akan melakukan merger, termasuk bank milik pemerintah.
Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong parah dibanding Malaysia, Korea Selatan dan Thailand. Di Amerika Latin pun tidak separah dengan di Indonesia. Jumlah bank kian menyusut. Bank besar jumlahnya sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah menjadi 180 buah per juni 2000. Penguatan dan pembenahan baru membuka lembaran baru menuju system perbankan yang sehat. Tahun 2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing.
9.4       Nilai Mata Uang Rupiah
            Salah satu fungsi dari uang (uang rupiah) adalah sebagai satuan hitung. Untuk mengukur hal yang sama, satu satuan hitung yang baik harus memberikan nilai yang sama, tidak tergantung dari waktu dan tempat. Seperti halnya dengan kilogram (Kg) atau meter masing-masing sebagai satuan hitung untuk berat dan panjang. Namun tidak demikian halnya dengan mata uang (rupiah). Yang diukur misalnya satu sepatu. Sepatu yang persis sama, mestinya mempunyai satuan hitung yang sama untuk tahun depan atau di tempat lain. Namun dalam banyak hal tidak demikian halnya. Malah pemerintah atau Bank Indonesia secara tegas-tegas merancang bahwa nilai uang rupiahuntuk satu periode di masa datang (periode depan) mengalami penurunan tidak sampai dua digit. Atau dengan kata lain, pemerintah merencanakan penurunan nilai rupiah (inflasi) tidak mencapai dua digit.
9.4.1    Nilai Dalam Negeri (Inflasi)
            Di dalam negeri nilai uang rupiah ditentukan berdasarkan daya belinya, yakni kemampuan dari uang itu untuk mendapatkan barang dan jasa. Dalam keadaan sehari-hari, nilai rupiah yang turun terhadap barang dan jasa pada umumnya (bukan hanya satu barang) dikatakan bahwa harga barang dan jasa mengalami kenaikan. Keadaan yang demikian ini disebut inflasi. Keadaan sebaliknya disebut deflasi. Jadi nilai rupiah didalam negeri ditunjukkan oleh ada tidaknya gejala umum penurunan harga (deflasi) atau adanya gejala umum kenaikan harga (inflasi).
            Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua brang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada brang lainnya. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Pengelompokkan inflasi ke dalam 7 jenis pengeluaran didasarkan pada apa yang dikenal sebagai the Classification of individual consumption by purpose atau COICOP. Indikator Inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain :
1.      Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) yaitu harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas satu komoditas.
2.      Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam satu ekonomi (negeri).
Sumber dari penyebab inflasi juga penting untuk diperhatikan, yaitu karena adanya penambahan uang beredar seperti pada masa pemerintahan Soekarno (deficit spending).
9.4.2    Nilai Rupiah dalam Valuta asing (Devaluasi)                    
            Naik/turunnya nilai satu mata uang relatif terhadap mata uang lainnya yang ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran disebut mata uang tersebut mengalami apresiasi/depresiasi.  Nilai rupiah dalam valuta asing adalah jumlah valuta asing yang diperoleh dari penukaran satu unit rupiah. Pencatatan kurs yang dilakukan di Indonesia tidak konsisten dengan definisi 9ni. Penentuan kurs valuta asing bisa dikerjakan melalui perbandingan jaminan (mint) atau daya beli (Purchasing power) dari masing-masing mata uang. Indonesia telah melakukan devaluasi beberapa kali, yakni pada masa pemerintahan Soekarno dan Suharto, dan tidak ada lagi melaksanakan karena kurs valuta asing diserahkan pada kekuatan pasar sejak krisis 1997. Devaluasi mempunyai aki bat mendorong ekspor dan mengekang impor.

Sumber :

Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP

RMK PEREKONOMIAN INDONESIA SAP 8

RMK SAP 8
Kebijaksanaan Sektor Industri
1.      Konsep dan Tahap Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari proses revolusi industry pada pertengahan abad ke 18 di Inggris seperti penemuan metode pemintalan dan penenunan kapas setelah itu berinovasi dalam pengolahan besi dan mesin uap. Setelah itu awal abad ke 19 dengan berbagai perkembangan teknologi turut membantu laju industrialisasi. Setelah perang dunia II muncul berbagai teknologi baru.
Kemajuan teknologi menyebabkan menurunnya biaya produksi dan komunikasi atau pemasaran. Mendorong perkembangan antar negara/proses internasionalisasi produksi barang dan jasa serta pemasaran dan penyalurannya. Meningkatkan spesialisasi dan pembagian produksi antar negara berdasarkan jenis produk dan proses produksi. Menyebabkan siklus produksi menjadi lebih pendek dan memungkinkan pembuatan lebih banyak jenis produk.
Industrialisasi merupakan satu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Kemajuan teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi satu Negara dari sisi produksi, sedangkan pendapatan masyarakat mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi permintaan.
Industrialisasi memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduk yang sedikit dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dapat mencapai tingkat pendapatan perkapita yang tinggi tanpa melewati proses industrialisasi, hanya mengadalkan pada sector pertambangan minyak. Tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sector-sektor primer (pertanian dan pertambangan) mampu mencapai tingkat pendapatan perkapita di atas $500 selama jangka panjang. Indonesia sejak Pelita I tahun 1969 sampai berakhirnya pemerintahan Suharto 1998, pendapatan perkapita diatas $US 1000.
Industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir hanya salah satu strateginmendukung proses pembangunan ekonomi untuk mencapai tingkat pendapatan perkapita yang tinggi. Tahapan diwujudkan melalui kenaikan kontribusi sector industry manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi dan kesempatan kerja.
Indonesia dikategorikan Negara yang berada pada tahap industrialisasi. Peningkatan sector industri dalam dalam PDB, menurut jenis industrinya mulai dengan industry tekstil, besi, baja dan mesin perkakas. Kemudian industry elektronik dan mikroelektronika.
Tahap-tahap industrialisasi menurut UNIDO
Tahapan
Kontribusi Nilai Tambah terhadap
PDB (%)
SK (%)
Nonindustrialisasi


Menuju Proses
< 10
< 20
Industrialisasi
10 – 20
20 – 40
Semi Industrialisasi
20    – 30
40 – 60
Industrialisasi Penuh
> 30
> 60
SK = sector komoditas atas pertanian, pertambangan, industry, bangunan, listrik gas dan air minum
Indonesia memasuki tahap “menuju proses industrialisasi” sejak 1975. 4 tahapan industrialisasi yaitu :
1.      Tahap awal : barang konsumsi seharo-hari, nilai tambah lebih rendah, teknologi sederhana.
2.      Tahap madya : manufacturing bahan bernilai tambah lebih tinggi.
3.      Tahap industry hulu, dasar dan bernilai tambah tinggi dengan teknologi mutakhir.
4.      Tahap teknologi tinggi : mikro elektronik, bio genetic, laser, robot serta telekomunikasi dan informatika.
2.      Kebijaksanaan Industrialisasi
(a)   Startegi yang Protektif dan yang Mendorong
Industrialisasi bukanlah tujuan akhir, tapi salah satu startegi yang dilalui semua Negara untuk mencapai pendapatan perkapita yang tinggi. Kecendrungan di negara berkembang adalah upaya untuk mempercepat pergeseran ke sector industry manufaktur melalui proteksi dan subsitusi impor yang disubsidi. Ini dinamakan startegi industry protektif. Ada negara yang menggunakan cara berbeda yakni mendorong industry untuk berdiri dan berkembang yang dinamakan strategi mendorong.
Strategi yang protektif merupakan proses industrialisasi yang dijalankan melalui kebijaksanaan proteksi yang berupa tarif dan non tarif untuk membatasi impor agar industry dalam negeri yang bersaing dengan impor memperoleh pelindungan. Banyak cabang industri yang ada yakni yang masuk dan tidak masuk pada perdagangan internasional (tradable dan non tradable goods). Barang tradable dipilih satu atau dua komoditas yang sangat penting dan banyak diperlukan didalam negeri sehingga memerlukan banyak divisa untuk mengimpornya. Komoditas diproduksi didalam negeri sebagai ganti ketimbang mengimpornya dari luar negeri. Strategi protektif juga disebut strategi subsitusi impor. Pemerintah menunjuk satu atau dua perusahaan untuk memproduksi komoditas yang dimaksud. Pemerintah memberikan perlindungan (proteksi) dari persaingan perusahaan luar negeri melalui tarif impor yang relatif tinggi, pembebasan/keringan bea masuk untuk bahan dasar dan barang modal, kemudahan untuk menggunakan tenaga asing, pembebasan/keringanan pajak perusahaan, perlindungan non tarif seperti pembatasan jumlah barang yang boleh  diimpor (kuota) atau pembatasan lainnya.
Strategi ini mengandung banyak kelemahan :
1.      Berbagai bentuk pengawasan dan proteksi tersebut menimbulkan ketidakwajaran dalam rangsangan usaha di bidang industry dengan makin besarnya unsure ketidakpastian, dorongan untuk mengejar keuntungan yang tidak wajar dan kecendrungan kearah investasi yang berlebihan dan kelebihan kapasitas pada sector yang diproteksi.
2.      Sector yang dilindungi sering mendapatkan perlindungan yang berlebihan, sedangkan sector lainnya pada produksi barang tradable apalagi non tradable tidak mendapatka  perlindungan yang sama atau sama sekali tidak mendapatkannya.
3.      Dalam jangka pendek kebijaksanaan yang protektif menambah ketimpangan pembagian pendapatan. Sector yang tidak mendapat proteksi cenderung menanggung beban biaya produksi yang tinggi. Hasilnya adalah bahwa faktor-faktor produksi yang dipekerjakan di sector yang dilindungi mendapatkan keuntungan atas beban warga masyarakat lainnya.
4.      Dalam jangka panjang justru membuat masalah penciptaan kesempatan kerja yang lebih parah. Daya serap tenaga kerja di sector-sektor yang tidak dilindungi berkurang dan kemampuan dari sector yang dilindungi untuk menyerap tenaga kerja baru akan menjadi terbatas, terutama saat tahap subsitusi telah berakhir.
5.      Industry yang dilindungi tidak menghadapi persaingan internasional maka tingkat efisiensinya menjadi lebih rendah dari tingkat efisiensi yang seharusnya dicapai.
Pengaruh negative dari strategi protektif dapat berupa ketidakpastian usaha, pengejaran keuntungan yang tidak wajar dan korupsi, adanya investasi yang berlebihan di beberapa sector sehingga banyak kapasitas yang menganggur dan tingkat proteksi yang timpang.
Strategi mendorong memusatkan perhatian pada terciptanya dan terpeliharanya satu system perekonomian yang stabil, bebas dari hambatan dan campur birokrasi dan mendorong pertumbuhan industry. Strategi industrialisasi yang mendorong tidak sama dengan strategi industrialisasi pendorong ekspor. Yang didorong adalah semua cabang industry namun belakangan hanya menyangkut produksi untuk barang-barang ekspor. Strategi industrialisasi yang bersifat mendorong ini menghendaki bahwa program-program pemerintah diarahkan pada prasarana industry dalam bentuk keterampilan dan kelembagaan yang diperlukan bagi pertumbuhan industry secara lebih merata agar seluruh sector industry tumbuh dan berkembang secara wajar. Pengawasan perkembangan industry yang bersifat tidak langsung, menekankan tindakan yang bersifat umum untuk membantu perkembangan industry, dan mengutamakan penyederhanaan dan pengurangan peraturan serta pengawasan langsung oleh pemerintah. Mendirikan lembaga pendidikan dan keterampilan untuk kemajuan industry itu tidak saja memakan waktu yang lama dan mahal tetapi juga industry belum tentu cukup terdorong untuk berdiri dan berkembang.
(b)   Perkembangan kebijkan industrialisasi
Kebijaksanaan industrialisasi dibedakan dalam 2 periode yakni :
1.      Kebijaksanaan industrialisasi sebelum pelita I
Meliputi zaman penjajahan Belanda, perekonomian mengikuti system induknya. Bergerak dengan campur tangan yang minimum. Sector industrinya tanpa ada campur tangan pemerintah sehingga startegi pengembangan sector industrinya, lebih cenderung ke arah mendorong bukan bersifat proaktif.
Zaman pemerintahan Sukarno sampai 1960 sistemnya masih sama dengan periode sebelumnya. Setelah 1960 diwarnai oleh situasi politik yang sangat tidak mendukung kemajuan perekonomian. Situasi politik memakska perekonomian tidak berkembang secara sehat dan sudah tentu juga sector industrinya. Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah yang memberikan indikasi bahwa kebijaksanaan tersebut untuk tujuan memajukan industry yakni :
*      Kebijaksanaan mendorong ekspor hasil pertanian untuk meningkatkan penerimaan devisa.
*      Kebijaksanaan pengawasan devisa oleh pemerintah dengan kurs yang rendah.
*      Kebijaksanaan Alokasi Devisa Otomatis (ADO) untuk eksportir dan untuk pemerintah daerah bisa diartikam agar para importer dan daerah yang menggunakannya untuk membeli bahan baku dan mesin untuk memajukan industry dalam negeri.
2.      Kebijaksanaan industrialisasi setelah Pelita I
Meliputi zaman pemerintahan Suharto, Habibie sampai sekarang. Suharto mementingkan perkembangan ekonomi dan memulainya dengan liberalisasi ekonomi, mengizinkan penanaman modal asing dan mengundangkan peraturan penanaman modal dalam negeri. Pada buku Repelita I tercantum bahwa pembangunan industry mengutamakan hal hal berikut :
*      Industry yang menunjang sector pertanian dengan memproduksi sarana-sarana pertanian pertanian atau mengolah hasil pertanian.
*      Industry yang menghasilkan devisa atau menghemat devisa dengan jalan menghasilkan barang-barang pengganti impor.
*      Industry yang mengolah lebih banyak bahan-bahan dalam negeri.
*      Industry yang membangkitkan kegiatan pembangunan daerah.
Pemerintah saat itu mementingkan perkembangan seluruh sekrot industry yang berarti strategi yang ditempuhnya adalah strategi mendorong bukan strategi proaktif.
Industry otomotif dan industry tekstil mendapat perlindungan yang lebih besar dari sector industry pada umunya. Demikian juga industry penyosokan beras.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sangat berkepanjangan karena bersamaan dengan pergantian pemerintahan yang menghendaki reformasi disegala bidang (politik, ekonomi,budaya). Pada masa reformasi perhatian pemerintah terhadap perkembangan industry juga agak terbelangkai kecuali perhatian terhadap pendidikan dan pelatihan yang pada akhirnya membantu perkembangan industry.
Pemerintahan SBY memberikan banyak perhatian terhadap sector industry dengan menetapkan pedoman dalam pengembangan industry nasional dan sebagai dasar pemberian fasilitas pemerintah dengan Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2008. Disebutkan bahwa akan disusun peta panduan (Road map) pengembangan klaster indutri prioritas yang mencakup basis industry manufaktur, industry berbasis agro, industry alat angkut, industry elektronika dan telematika, industry penunjang industry kreatif tertentu serta industry kecil dan menengaj tertentu untuk dalam jangka panjang (tahun 2025) dicapai sector industry yang tangguh, kelas dunia dan sebagai motor penggerak perekonomian. Pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa insentif fiscal, insentif non fiscal dan kemudahan lainnya yang akan ditinjau tiap dua tahun sekali. Fasilitas akan diberikan atas permintaan dari :
*      Industry prioritas tinggi, baik industry prioritas nasional maupun industry prioritas berdasarkan kompetensi inti industry daerah.
*      Industry pionir
*      Industry yang dibangun didaerah terpencil, tertinggal, pembatasan atau daerah lain yang dianggap perlu
*      Industry yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi
*      Industry yang melakukan infrastruktur
*      Industry yang melakukan alih teknologi
*      Industry yang menajga kelestarian lingkungan hidup
*      Industry yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi
*      Industry yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi didalam negeri.
*      Industry yang banyak menyerap tenaga kerja.
3.      Pemilihan Teknologi
Konsep Dasar
Dalam literatur ekonomi memakai model insentif harga, biasanya harga modal dan harga tenaga kerja untuk menciptakan biaya minimum bagi suatu perusahaan untuk memproduksi sejumlah barang dan jasa tertentu. Produsen diasumsikan sebagai perangkat harga relative faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dan menggunakan kombinasi modal dan tenaga kerja yang meminimumkan biaya dalam memproduksi jumlah output yang dikehendaki. Apabila harga modal sangat mahal disbanding harga tenaga kerja, maka proses produksi yang padat karya akan dipilih. Sebaliknya jika harga tenaga kerja lebih mahal, maka perusahaan memilih untuk menggunakan metode produksi yang lebih bersifat padat modal. Perusahaan akan menghemat penggunaan faktor produksi yang lebih mahal yang dalam hal terakhir ini adalah tenaga kerja.
Kombinasi modal-tenaga kerja yang optimum dengan teknik yang paling efisien ditentukan oleh harga relative faktor produksi.

Distorsi Harg Faktor dan Pengangguran
Semua pengusaha disetiap kegiatan ekonomi berusaha meminimalkan biaya perusahaannya dengan cara memberikan tanggapan rasional terhadap struktur sinyal harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi dan hasil produksinya. Teknik produksi yang tepat adalah teknik produksi yang menggunakan lebih banyak faktor produksi yang harganya relative lebih murah dengan mengkombinasikannya lebih sedikit faktor produksi yang jarang.
Pemerintah disetiap Negara mengenakan pajak baik terhadap barang akhir (konsumsi) maupun terhadap bahan baku dan barang modal.  Ditambah dengan pungutan tak resmi sehingga dikatakan Indonesia sebagai ekonomi biaya tinggi. Bahwa harga-harga barang dan jasa dipasar tidak menunjukkan biaya pengorbanan pemakaian faktor produksi untuk menghasilkannya. Keadaain ini adanya distorsi harga barang dan jasa. Distorsi harga juga terjadi pada pasar faktor produksi.
Indonesia memiliki tenaga kerja yang melimpah dan hanya memiliki modal financial atau modal fisik yang sangat terbatas, wajar kalo berpikir teknik produksi yang akan digunakan bersifat padat karya. Hasil neto dari distorsi harga faktor adalah adanya dorongan penggunaan teknik produksi padat modal yang sangat mekanis yang tidak layak disektor pertanian maupun manufaktur.

4.      Klasifikasi dan Struktur Industri
a.      Bidang Usaha
Peraturan Presiden nomor 28 Tahun 2008 ada 6 kelompok industry prioritas yang mencakup:
1.      Basis industry manufaktur dengan 3 kelompok :
a)      Kelompok industry material dasar (industry besi dan baja, industry semen, industry petrokimia, industry keramik)
b)      Kelompok industry permesinan (industry mesin listrik dan peralatan listrik dan industry mesim dan peralatan umum)
c)      Kelompok industry padat tenaga kerja (industry kecil dan produk tekstil (TPT) dan industry alas kaki)
2.      Industry berbasis agro (industry kelapa sawit, industry karet dan barang karet, industry kakao dan cokelat, industry kelapa, industry kopi, industry gula, industry tembakau, industry buah-buahan, industry kayu dan barang kayu (termasuk rotan dan bamboo), industry hasil perikanan dan laut, industry pulp dan kertas, industry pengolahan susu).
3.      Industry alat angkut (industry kendaraan bermotor, industry perkapalan, industry kedirgantaraan, industry perkeretaapian)
4.      Industry elektronika (industry elektronika, industry perangkat keras telekomunikasi, penyiaran dan pendukungnya dan industry komputer dan peralatannya)
5.      Industry penunjang industry kreatif dan industry kreatif tertentu (industry perangkat lunak dan content multimedia, industry kreatif teknologi informasi dan komunikasi dan industry kerajinan dan barang seni)
6.      Industry kecil dan menengah tertentu (IKM batu mulia dan perhiasan, IKM garam rakyat, IKM gerabah dan keramik hias, IKM minyak atsiri, makanan ringan)
b.      Ukuran Usaha
Dibedakan berdasarkan jumlah orang yang bekerja pada masing-masing usaha menjadi : perusahaan besar yang memperkerjakan 100 orang atau lebih, perusahaan sedang yang memperkerjakan 20 orang sampai 99 orang, perusahaan kecil yang memperkerjakan 6 sampai 19 orang dan usaha kerajinan rumah tangga yang memperkerjakan 3 orang termasuk tenaga tidak dibayar. Dalam laporan statistic biasanya dibedakan menjadi 2 yakni industry menengah dan besar (IMB) dan industry kecil dan kerajinan rumah tangga (IKKR).
DAFTAR PUSTAKA
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP