9.1 Uang dan Perekonomian
Berbeda halnya dengan pada masa pertukaran barter, di
mana belum dikenal mata uang, saat ini setiap negara mempunyai mata uang
sendiri seperti misalnya Indonesia dengan rupiahnya, Amerika Serikat dengan
dollarnya atau bergabung dengan negara lain seperti banyak negara-negara Eropa
Barat dengan mata uang Euronya. Dalam perekonomian dengan memakai uang, banyak
sedikitnya jumlah uang dalam peredaran menentukan lancar tidaknya aktivitas
ekonomi. Uang yang beredar adalah likuiditas perekonomian. Hal ini menunjukkan
bahwa uang memegang peran yang sangat penting dalam perekonomian. Pandangan
yang demikian ini adalah moneteris.
Pandangan yang berlawanan dengan itu adalah pandangan yang menyatakan bahwa
uang itu tidak lain dari pada hanya selubung dalam perekonomian. Yang penting
adalah kegiatan ekonomi riil, bukan dalam arti moneternya.
9.2 Teori Kuantitas
|
Hubungan antara jumlah uang yang
beredar dengan kegiatan ekonomi sudah lama dikenalkan oleh para ahli dan
dikenal sebagai teori Kuantitas seperti berikut :
(1)
|
Di mana :
Pada awal perekonomian dengan sistem uang, rumus (1) di
atas hanya merujuk pada jumlah uang kartal, yaitu jumlah uang emas dan perak
yang ada dalam peredaran. Pada saat itu jumlah uang giral sangat sedikit (dan
dapat diabaikan) dibandingkan dengan jumlah uang kartal. Begitu sistem moneter
suatu negara menjadi lebih modern, uang yang beredar bertambah dengan uang
giral (uang yang bisa diterima atau ditolak oleh masyarakat dan bukan sebagai
alat pembayaran yang syah) yang dapat ditarik dengan memakai cek. Jumlah uang
kartal dan uang giral yang beredar dimasyarakat dikenal dengan istilah M1. Pada
sistem perekonomian modern, uang kuasai, yang sering disebut uang dekat (near
Money) berkembang dengan pesat. Uang kuasai ini berupa tabunganm deposito,
kartu kredit dan ATM, sehingga jumalah uang yang beredar saat ini disebut M2,
yang merupakan M1 ditambah uang dikuasai.
9.1.2 Velocity of Circulation (V)
Untuk
menghitung V melalui rumus (1) di atas dengan memakai M2 berarti kita
mengumpamakan bahwa semua jenis uang (kartal, giral, dan kuasai) mempunyai
kecepatan perputaran yang sama. Kalau seorang ingin menggunakan uang
tabungannya dalam transaksi ekonomi, maka ia harus menarik tabungannya menjadi
uang kartal. Dalam hal ini, uang kuasinya diubah menjadi uang kartal, sehingga
uang kartalnyalah yang mempunyai perpindahan tangan, sedangkan uang kuasinya
gugur (nilai Vnya satu). Namun uang kuasi dapat juga langsung dipergunakan
dalam transaksi ekonomi tanpa mengubahnya menjadi uang kartal terlebih dahulu,
yakni dengan memakai kartu kredit atau ATM dalam transaksi jual beli. Dalam hal
ini nilai V untuk uang kuasi adalah satu (V=1) kali, meskipun seseorang
berkali-kali memakai kartu kreditnya atau ATMnya dalam transaksi ekonomi.
Seperti
halnya uang kuasi yang mempunyai V=1, demikian juga keadaannya uang giral. Uang
giral dipergunakan dalam proses jual beli dengan memakai cek atau bilyet giro. Jadi
dengan demikian nilai V untuk uang giral sama dengan nilai V untuk uang kuasi
yakni satu.
9.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi uang beredar
Dari
laporan Bank Indonesia dapat diketahui bahwa faktor-faktor tersebut berasal
baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Bertambahnya aktiva luar negeri yang
dipegang oleh Bank Indonesia akan menambah jumalah uang beredar, seedangkan
sebaliknya berkurangnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia
akan mengurangi jumlah uang beredar. Faktor dalam negeri yang mempengaruhi
jumlah uang beredar adalah tagihan kepada pemerintah dan tagihan kepada swasta.
Tagihan kepada swasta jauh lebih besar dibandingkan tagihan kepada pemerintah
dan kepada lembaga pemerintah. Seperti halnya dengan aktiva dari luar negeri,
tagihan baik kepada pemerintah maupun kepada swasta yang positif berarti jumlah
uang beredcar bertambah.
9.2 Kebijaksanaan Moneter
Kebijaksanaan
Moneter adalah setiap kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank
Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan
harapan mempegaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Oleh
karena kebijaksanaan moneter dalam arti luas ini juga menyangkut kebijaksanaan
dalam bidang keuangan negara (Anggaran Pendapan dan Belanja Negara), dan hal
yang terakhir ini difokuskan pada kebijaksanaan moneter dalam arti sempit,
yakni yang menyangkut sistem perbankan saja.
9.2.1 Tujuan kebijaksanaan Moneter
Tujuan
kebijaksanaan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat dicapai dengan
berbagai kebijaksanaan, baik di sektor moneter maupun kebijaksanaan di sektor
riil. Kebijaksanaan di sektor monoter itu sendiri mungkin berupa mengendalikan
jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas
nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan kebijaksanaan untuk
mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money
Laundering), laju pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta
asing, dan sebaginya, dimana Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan
sasaran moneter tersebut berdasarkan undang-undang. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijaksanaan
moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar
yang mengambang (free floating).
Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan moneter dilakukan secara melihat
kedepan (forward looking), artinya
perubahan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan
inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan.
Dalam kerangka kerja ini, kebijaksanaan moneter ditandai oleh transparansi dan
akuntabilitas kebijakan kepada publik.
9.2.2 Alat Kebijaksanaan Moneter
Secara
operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan moneter dapat menggunakan
instrumen-instrumen berikut :
a.
Operasi
pasar teruka di pasar uang rupiah maupun valuta asing
b.
Penetapan
cadangan wajib minimum
c.
Penetapan
tingkat diskonto
d.
Pengaturan
kredit atau pembiayaan
e.
Kebijaksanaan
lain yang dianggap perlu
Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara
pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah (prinsip bagi hasil).
a.
Operasi
Pasar Terbuka (OPT)
Alat kebijaksanaan ini juga dikenal dalam Bahasa Inggris
sebagai Open Market Operation, dimana
Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual di pasar surat berharga
atau di pasar devisa. Instrumen yg digunakan dalam OPT meliputi : Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat Berharga, Penempatan
Berjangka (term deposit) oleh Bank
dan/atau pihak lain di BI, dan Valuta Asing. Kebijaksanaan yang diambil dalam
OPT kontraksi ini adalah :
Ø
Menerbitkan
dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada bursa (bank umum atau broker) sehingga
likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia.
Ø
Fine tune
kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum atau
masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak reguler dengan jangka waktu
bervariasi.
Ø
Menerbitkan
dan menjual Surat Utang Negara (SUN) atau reverse
repo SUN.
Ø
Sterilisasi
valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar sport USD dalam rupiah
ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan
rupiah).
b.
Penetapan
cadangan wajib minimum
Instrumen lain yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi
likuiditas di pasar adalah melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam
bentuk giro sehingga dikenal juga dengan nama Giro Wajib Minimum (GMW), yang
tidak lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam
bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
c.
Politik
Diskonto
Disamping kebijaksanaan pasar terbuka dan GNM, dalam
rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia juga menerapkan
kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga).
d.
Pengaturan
kredit atau pembiayaan
Alat kebijaksanaan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank
Indonesia adalah pengaturan kredit. Tujuan dari pengaturan kredit adalah untuk
tindakan berhati-hati, menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir
meminimumkan kredit macet.
e.
Kebijaksanaan
Lain
Disamping alat kebijaksanaan di atas masih ada lagi alat
kebijaksanaan yang dapat dan pernah dilaksanakan oleh Indonesia. Alat
kebijaksanaan tersebut antara lain :
Ø
Bujukan
moral (moral suasion)
Ø
Sanering
Ø
Pergantian
uang
Ø
Devaluasi
9.2.3 Sifat
Kebijaksanaan Moneter dan Hasilnya
Bekerjanya
transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu. Masing-masing jalur berbeda
dengan yang lain. Jalur nilai tukar
biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suhu bunga kepada nilai
tukar bekerja sangat cepat. Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kebijaksanaan yang kuat. Misalnya
penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan memakan waktu yang lebih lama
dibandingkan penurunan tingkat bunga yang besar. Misalnya kenaikan bunga yang
hanya satu persen setahun ,akan memakan waktu lebih lama dibandingkan kenaikan
tingkat bunga sebesar 80 persen setahun seperti pada akhir pemerintahan
Soekarno atau sebesar 60 persen setahun pada akhir pemerintahan Soeharto.
Kesimpulannya
kondisi sector keuangan,perbankan,dan kondisi sector riil sangat berperan dalam
menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. Bahwa
kebijaksanaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau tidak efektif
sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat malapetaka bagi
perekonomian. Sehingga kebijaksaan moneter harus bersifat sedang dan sesuai
dengan kondisi perekonomian.
9.3 Kelembagaan
Kebijaksaan Moneter
Pada
tahun pertama kemerdekaan terdiri dari sebuah bank central. Orientasi perbankan
tertuju pada pembiayaan dan kelancaran untuk memperluas ruang lingkup kegiatan
perbankan. Tahun 1952 terjadi perdagangan saham luar negeri dalam jumlah kecil
pemerintah juga
mengeluarkan obligasi. Lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik
dalam keadaan harga yang relatif stabil. Indonesia masuk kedalam keadaan
hiperintlasi, lembaga keuangan mengalami masa surut. Tahun 1965 bank umum tidak
lagi menjalankan fungsi yang normal : inflasi telah merongrong kemampuan bank
umum menarik dana dari masyarakat dan akibatnya kegiatan perbankan di bidang
peminjaman menjadi tak berarti. Hanya berperan sebagai saluran pembiayaan
deficit APBN. Bank umum swasta tutup hanya bank milik pemerintah yang masih
bertahan. Tahun 1964 semua bank asing ditutup.
Pemerintahan
Orde Baru Tahun 1965 berusaha untuk mengurangi peran Negara di dalam kehidupan
ekonomi, mengandalkan kekuatan pasar dan memberi kesempatan sector swasta
mengambil peranan di dalam perekonomian. Bank-bank pemerintah merupakan unsur
pokok dari system perbankan di Indonesia. Bank ini mempunyai hubungan khusus
dengan bank central sehingga simpanan yang ada pada mereka terjamin. Bank
pemerintah wajib memberi pinjaman kepada proyek khusus dan sector yang
diprioritaskan oleh pemerntah. Perubahan secara resmi dicantumkan dalam UU Bank
Sentral tahun 1968.
Bank
umum milik swasta dan cabang bank asing menikmati iklim usaha yang lebih baik
setelah tahun 1968. Bank swasta tidak berfungsi sebagai bank yang sesungguhnya
hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan keuangannya.
Awal 1970 bank swasta muncul sebagai bank yang sesungguhnya dan menerima
simpanan dari perusahaan nasabah mereka dan juga memberikan kredit kepada
mereka. Setelah 1972 bank asing membuka kantor perwakilan dan member dampak
positif terhadap perkembangan sector keuangan di Indonesia. Perkembangan
kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam jumlah besar kedalam
negeri.
Tahun
1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan untuk pertama kalinya dengan
nama Paket Juni (PakJun) 1983. Memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan
suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap
bank dalam penyaluran kredit. Diperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Lima
tahun setelah PakJun , pemerintah mengeluarkan Paket 27 oktober 1988 (Pakto88).
Aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Dengan modal Rp.10
miliar siapa saja bisa mendirikan bank baru. Bank asing lama dan yang baru
masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bentuk patungan antar bank
asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Reserve requirement bamk local
diturunkan dari 15% menjadi 2%. Pakto 88 mengubah kehidupan perbankan nasional.
Jumlah
bank tumbuh dari 111 pada maret 1989 menjadi 176 bank pada maret 1991. Tahun
1992 jumlah bank 17 ribu buah , 8400 diantaranya adalah BPR. Banyak dana luar
negeri masuk lewat pasar modal, untuk mendirikan bank di Indonesia. Menjamurnya
bank-bank gelap memanfaatkan pertumbuhan bank untuk mendapatkan bunga tabungan
atau deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga membuka lembaga keuangan non
bank sebagai alat untuk memobilisasikan dana jangka panjang untuk membiayai
investasi perusahaan. Lembaga ini didirikan dalam bentuk kongsi antara mereka
yang mempunyai kepentingan perbankan didalam negeri maupun diluar negeri.
Lembaga ini berfugsi seperti bank meskipun tidak menerima giro dan cenderung mempunyai
nasabah perusahaan-perusahaan besar. Bursa efek dihidupkan dan disempurnakan.
Banyaknya
jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja , mobilisasi dana deposito
dan tabungan semakin kompetitif. Banyak pihak yang dirugikan karena tidak
profesionalnya bank. Pertimbangan pemerintah tahun 1988 dijadikan tahun untuk
ekspansi dan tahun 1991 sampai 1994 untuk menguatkan perbankan di Indonesia.
Tahun 1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksaan
yang mengatur syarat bahwa modal sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8%
dari seluruh aset, diyakini banyak bank mempunyai kecukupan modal sangat
rendah, dibawah 5% malah ada yang negative. Maret 1992 pemerintah mengeluarkan
UU perbankan no 7 yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru yakni
: susunan organisasi, permodalan, kepemilikan ,keahlian dibidang perbankan
,kelayakan kerja dll. Menaikan modal minimum dari Rp.10 miliar menjadi Rp. 50
miliar pertumbuhan bank baru masih terus berlanjut hingga 1994. Banyak bank
dikusasai oleh konglomerat yang menyuburkan praktek pemberian kredit untuk
kelompok usaha mereka sendiri. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena
syaratnya yang dianggap masih terlalu lunak.
Meledaknya
jumlah bank diikuti kompetisi perekrutan tenaga kerja, terjadi heboh pembajakan
karyawan bank. Dalam hal mobilisasi dana masyarakat dan usaha untuk mengucurkan
kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati-hati dan keamanan dalam
menyalurkan kredit menjadi terabaikan, tingkat bunga tinggi yang akhirnya
diikuti oleh kredit macet yang menggunung. Banyak bank mengalami kesulitan
likuiditas dan para konglomerat pemilik bank terjun ke dunia politik untuk
memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber daya ekonomi yang berujung
ada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit bantuan
likuiditas yang disalahgunakan.
Pembenahan
dan penguatan system perbankan masih terus dijalankan, misalnya melonggarkan
aturan soal CAR, pemberian kredit bagi grup usahanya, pengaturan kredit usaha
kecil, cadangan wajib minimum bagi perbankan,dll. Juli 1997 ditentukan
pembatasan pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembangan
property dan kebijaksaan dan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya
kredit macet dibidang tersebut. Pengumuman pemerintah pada 1 November 1997
untuk melikuidasi 16 bank secara serenta dan 22 April 1998 mengumumkan 54 bank
dimasukkan kedalam program penyehatan dibawah BPPN. Sejumlah bank lain akan melakukan merger, termasuk bank milik
pemerintah.
Krisis
perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong parah dibanding Malaysia, Korea
Selatan dan Thailand. Di Amerika Latin pun tidak separah dengan di Indonesia.
Jumlah bank kian menyusut. Bank besar jumlahnya sedikit, jumlah bank swasta
nasional terpangkas dari 160 buah menjadi 180 buah per juni 2000. Penguatan dan
pembenahan baru membuka lembaran baru menuju system perbankan yang sehat. Tahun
2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wajib Minimum
Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing.
9.4 Nilai Mata Uang Rupiah
Salah
satu fungsi dari uang (uang rupiah) adalah sebagai satuan hitung. Untuk
mengukur hal yang sama, satu satuan hitung yang baik harus memberikan nilai
yang sama, tidak tergantung dari waktu dan tempat. Seperti halnya dengan
kilogram (Kg) atau meter masing-masing sebagai satuan hitung untuk berat dan panjang.
Namun tidak demikian halnya dengan mata uang (rupiah). Yang diukur misalnya
satu sepatu. Sepatu yang persis sama, mestinya mempunyai satuan hitung yang
sama untuk tahun depan atau di tempat lain. Namun dalam banyak hal tidak
demikian halnya. Malah pemerintah atau Bank Indonesia secara tegas-tegas
merancang bahwa nilai uang rupiahuntuk satu periode di masa datang (periode
depan) mengalami penurunan tidak sampai dua digit. Atau dengan kata lain,
pemerintah merencanakan penurunan nilai rupiah (inflasi) tidak mencapai dua
digit.
9.4.1 Nilai Dalam Negeri (Inflasi)
Di dalam
negeri nilai uang rupiah ditentukan berdasarkan daya belinya, yakni kemampuan
dari uang itu untuk mendapatkan barang dan jasa. Dalam keadaan sehari-hari,
nilai rupiah yang turun terhadap barang dan jasa pada umumnya (bukan hanya satu
barang) dikatakan bahwa harga barang dan jasa mengalami kenaikan. Keadaan yang
demikian ini disebut inflasi. Keadaan sebaliknya disebut deflasi. Jadi nilai
rupiah didalam negeri ditunjukkan oleh ada tidaknya gejala umum penurunan harga
(deflasi) atau adanya gejala umum kenaikan harga (inflasi).
Secara
sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua brang saja tidak dapat disebut
inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga)
pada brang lainnya. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat
inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Pengelompokkan inflasi ke dalam 7
jenis pengeluaran didasarkan pada apa yang dikenal sebagai the Classification of individual consumption by purpose atau
COICOP. Indikator Inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain :
1.
Indeks
Harga Perdagangan Besar (IHPB) yaitu harga transaksi yang terjadi antara
penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam
jumlah besar pada pasar pertama atas satu komoditas.
2.
Deflator
Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu menggambarkan pengukuran level harga barang
akhir (final goods) dan jasa yang
diproduksi di dalam satu ekonomi (negeri).
Sumber dari penyebab inflasi juga penting untuk
diperhatikan, yaitu karena adanya penambahan uang beredar seperti pada masa
pemerintahan Soekarno (deficit spending).
9.4.2 Nilai Rupiah dalam Valuta asing (Devaluasi)
Naik/turunnya
nilai satu mata uang relatif terhadap mata uang lainnya yang ditentukan
berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran disebut mata uang tersebut
mengalami apresiasi/depresiasi. Nilai
rupiah dalam valuta asing adalah jumlah valuta asing yang diperoleh dari
penukaran satu unit rupiah. Pencatatan kurs yang dilakukan di Indonesia tidak
konsisten dengan definisi 9ni. Penentuan kurs valuta asing bisa dikerjakan melalui
perbandingan jaminan (mint) atau daya
beli (Purchasing power) dari
masing-masing mata uang. Indonesia telah melakukan devaluasi beberapa kali,
yakni pada masa pemerintahan Soekarno dan Suharto, dan tidak ada lagi
melaksanakan karena kurs valuta asing diserahkan pada kekuatan pasar sejak
krisis 1997. Devaluasi mempunyai aki bat mendorong ekspor dan mengekang impor.
Sumber :
Nehen, I K. 2012. Perekonomian
Indonesia. Denpasar:UUP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar