Minggu, 12 Maret 2017

RMK PEREKONOMIAN INDONESIA SAP 9

9.1       Uang dan Perekonomian
            Berbeda halnya dengan pada masa pertukaran barter, di mana belum dikenal mata uang, saat ini setiap negara mempunyai mata uang sendiri seperti misalnya Indonesia dengan rupiahnya, Amerika Serikat dengan dollarnya atau bergabung dengan negara lain seperti banyak negara-negara Eropa Barat dengan mata uang Euronya. Dalam perekonomian dengan memakai uang, banyak sedikitnya jumlah uang dalam peredaran menentukan lancar tidaknya aktivitas ekonomi. Uang yang beredar adalah likuiditas perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa uang memegang peran yang sangat penting dalam perekonomian. Pandangan yang demikian ini adalah moneteris. Pandangan yang berlawanan dengan itu adalah pandangan yang menyatakan bahwa uang itu tidak lain dari pada hanya selubung dalam perekonomian. Yang penting adalah kegiatan ekonomi riil, bukan dalam arti moneternya.
9.2       Teori Kuantitas
MV = Y
 
            Hubungan antara jumlah uang yang beredar dengan kegiatan ekonomi sudah lama dikenalkan oleh para ahli dan dikenal sebagai teori Kuantitas seperti berikut :
                                                                                                                        (1)
M = Jumlah uang yang ada dalam peredaran
V = Jumlah berapa kali satu mata uang berpindah tangan dari seorang, keorang lain dalam setahun
Y = Pendapatan nasional
 
Di mana :


Pada awal perekonomian dengan sistem uang, rumus (1) di atas hanya merujuk pada jumlah uang kartal, yaitu jumlah uang emas dan perak yang ada dalam peredaran. Pada saat itu jumlah uang giral sangat sedikit (dan dapat diabaikan) dibandingkan dengan jumlah uang kartal. Begitu sistem moneter suatu negara menjadi lebih modern, uang yang beredar bertambah dengan uang giral (uang yang bisa diterima atau ditolak oleh masyarakat dan bukan sebagai alat pembayaran yang syah) yang dapat ditarik dengan memakai cek. Jumlah uang kartal dan uang giral yang beredar dimasyarakat dikenal dengan istilah M1. Pada sistem perekonomian modern, uang kuasai, yang sering disebut uang dekat (near Money) berkembang dengan pesat. Uang kuasai ini berupa tabunganm deposito, kartu kredit dan ATM, sehingga jumalah uang yang beredar saat ini disebut M2, yang merupakan M1 ditambah uang dikuasai.
9.1.2    Velocity of Circulation (V)
            Untuk menghitung V melalui rumus (1) di atas dengan memakai M2 berarti kita mengumpamakan bahwa semua jenis uang (kartal, giral, dan kuasai) mempunyai kecepatan perputaran yang sama. Kalau seorang ingin menggunakan uang tabungannya dalam transaksi ekonomi, maka ia harus menarik tabungannya menjadi uang kartal. Dalam hal ini, uang kuasinya diubah menjadi uang kartal, sehingga uang kartalnyalah yang mempunyai perpindahan tangan, sedangkan uang kuasinya gugur (nilai Vnya satu). Namun uang kuasi dapat juga langsung dipergunakan dalam transaksi ekonomi tanpa mengubahnya menjadi uang kartal terlebih dahulu, yakni dengan memakai kartu kredit atau ATM dalam transaksi jual beli. Dalam hal ini nilai V untuk uang kuasi adalah satu (V=1) kali, meskipun seseorang berkali-kali memakai kartu kreditnya atau ATMnya dalam transaksi ekonomi.
            Seperti halnya uang kuasi yang mempunyai V=1, demikian juga keadaannya uang giral. Uang giral dipergunakan dalam proses jual beli dengan memakai cek atau bilyet giro. Jadi dengan demikian nilai V untuk uang giral sama dengan nilai V untuk uang kuasi yakni satu.
9.1.3    Faktor-faktor yang mempengaruhi uang beredar
            Dari laporan Bank Indonesia dapat diketahui bahwa faktor-faktor tersebut berasal baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Bertambahnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan menambah jumalah uang beredar, seedangkan sebaliknya berkurangnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang beredar. Faktor dalam negeri yang mempengaruhi jumlah uang beredar adalah tagihan kepada pemerintah dan tagihan kepada swasta. Tagihan kepada swasta jauh lebih besar dibandingkan tagihan kepada pemerintah dan kepada lembaga pemerintah. Seperti halnya dengan aktiva dari luar negeri, tagihan baik kepada pemerintah maupun kepada swasta yang positif berarti jumlah uang beredcar bertambah.


9.2       Kebijaksanaan Moneter
            Kebijaksanaan Moneter adalah setiap kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan harapan mempegaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Oleh karena kebijaksanaan moneter dalam arti luas ini juga menyangkut kebijaksanaan dalam bidang keuangan negara (Anggaran Pendapan dan Belanja Negara), dan hal yang terakhir ini difokuskan pada kebijaksanaan moneter dalam arti sempit, yakni yang menyangkut sistem perbankan saja.
9.2.1    Tujuan kebijaksanaan Moneter
            Tujuan kebijaksanaan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat dicapai dengan berbagai kebijaksanaan, baik di sektor moneter maupun kebijaksanaan di sektor riil. Kebijaksanaan di sektor monoter itu sendiri mungkin berupa mengendalikan jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money Laundering), laju pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta asing, dan sebaginya, dimana Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran moneter tersebut berdasarkan undang-undang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijaksanaan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan moneter dilakukan secara melihat kedepan (forward looking), artinya perubahan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijaksanaan moneter ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik.
9.2.2    Alat Kebijaksanaan Moneter
            Secara operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan moneter dapat menggunakan instrumen-instrumen berikut :
a.       Operasi pasar teruka di pasar uang rupiah maupun valuta asing
b.      Penetapan cadangan wajib minimum
c.       Penetapan tingkat diskonto
d.      Pengaturan kredit atau pembiayaan
e.       Kebijaksanaan lain yang dianggap perlu
Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah (prinsip bagi hasil).
a.       Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Alat kebijaksanaan ini juga dikenal dalam Bahasa Inggris sebagai Open Market Operation, dimana Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Instrumen yg digunakan dalam OPT meliputi : Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat Berharga, Penempatan Berjangka (term deposit) oleh Bank dan/atau pihak lain di BI, dan Valuta Asing. Kebijaksanaan yang diambil dalam OPT kontraksi ini adalah :
Ø  Menerbitkan dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada bursa (bank umum atau broker) sehingga likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia.
Ø  Fine tune kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum atau masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak reguler dengan jangka waktu bervariasi.
Ø  Menerbitkan dan menjual Surat Utang Negara (SUN) atau reverse repo SUN.
Ø  Sterilisasi valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar sport USD dalam rupiah ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan rupiah).
b.      Penetapan cadangan wajib minimum
Instrumen lain yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi likuiditas di pasar adalah melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro sehingga dikenal juga dengan nama Giro Wajib Minimum (GMW), yang tidak lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia.

c.       Politik Diskonto
Disamping kebijaksanaan pasar terbuka dan GNM, dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia juga menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga).
d.      Pengaturan kredit atau pembiayaan
Alat kebijaksanaan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah pengaturan kredit. Tujuan dari pengaturan kredit adalah untuk tindakan berhati-hati, menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir meminimumkan kredit macet.
e.       Kebijaksanaan Lain
Disamping alat kebijaksanaan di atas masih ada lagi alat kebijaksanaan yang dapat dan pernah dilaksanakan oleh Indonesia. Alat kebijaksanaan tersebut antara lain :
Ø  Bujukan moral (moral suasion)
Ø  Sanering
Ø  Pergantian uang
Ø  Devaluasi
9.2.3    Sifat Kebijaksanaan Moneter dan Hasilnya
Bekerjanya transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu. Masing-masing jalur berbeda dengan yang  lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suhu bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kebijaksanaan yang kuat. Misalnya penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan penurunan tingkat bunga yang besar. Misalnya kenaikan bunga yang hanya satu persen setahun ,akan memakan waktu lebih lama dibandingkan kenaikan tingkat bunga sebesar 80 persen setahun seperti pada akhir pemerintahan Soekarno atau sebesar 60 persen setahun pada akhir pemerintahan Soeharto.
Kesimpulannya kondisi sector keuangan,perbankan,dan kondisi sector riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. Bahwa kebijaksanaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau tidak efektif sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat malapetaka bagi perekonomian. Sehingga kebijaksaan moneter harus bersifat sedang dan sesuai dengan kondisi perekonomian.
9.3       Kelembagaan Kebijaksaan Moneter
Pada tahun pertama kemerdekaan terdiri dari sebuah bank central. Orientasi perbankan tertuju pada pembiayaan dan kelancaran untuk memperluas ruang lingkup kegiatan perbankan. Tahun 1952 terjadi perdagangan saham luar negeri dalam jumlah kecil pemerintah juga mengeluarkan obligasi. Lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik dalam keadaan harga yang relatif stabil. Indonesia masuk kedalam keadaan hiperintlasi, lembaga keuangan mengalami masa surut. Tahun 1965 bank umum tidak lagi menjalankan fungsi yang normal : inflasi telah merongrong kemampuan bank umum menarik dana dari masyarakat dan akibatnya kegiatan perbankan di bidang peminjaman menjadi tak berarti. Hanya berperan sebagai saluran pembiayaan deficit APBN. Bank umum swasta tutup hanya bank milik pemerintah yang masih bertahan. Tahun 1964 semua bank asing ditutup.
Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965 berusaha untuk mengurangi peran Negara di dalam kehidupan ekonomi, mengandalkan kekuatan pasar dan memberi kesempatan sector swasta mengambil peranan di dalam perekonomian. Bank-bank pemerintah merupakan unsur pokok dari system perbankan di Indonesia. Bank ini mempunyai hubungan khusus dengan bank central sehingga simpanan yang ada pada mereka terjamin. Bank pemerintah wajib memberi pinjaman kepada proyek khusus dan sector yang diprioritaskan oleh pemerntah. Perubahan secara resmi dicantumkan dalam UU Bank Sentral tahun 1968.
Bank umum milik swasta dan cabang bank asing menikmati iklim usaha yang lebih baik setelah tahun 1968. Bank swasta tidak berfungsi sebagai bank yang sesungguhnya hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan keuangannya. Awal 1970 bank swasta muncul sebagai bank yang sesungguhnya dan menerima simpanan dari perusahaan nasabah mereka dan juga memberikan kredit kepada mereka. Setelah 1972 bank asing membuka kantor perwakilan dan member dampak positif terhadap perkembangan sector keuangan di Indonesia. Perkembangan kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam jumlah besar kedalam negeri.
Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan untuk pertama kalinya dengan nama Paket Juni (PakJun) 1983. Memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Diperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Lima tahun setelah PakJun , pemerintah mengeluarkan Paket 27 oktober 1988 (Pakto88). Aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Dengan modal Rp.10 miliar siapa saja bisa mendirikan bank baru. Bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Reserve requirement bamk local diturunkan dari 15% menjadi 2%. Pakto 88 mengubah kehidupan perbankan nasional.
Jumlah bank tumbuh dari 111 pada maret 1989 menjadi 176 bank pada maret 1991. Tahun 1992 jumlah bank 17 ribu buah , 8400 diantaranya adalah BPR. Banyak dana luar negeri masuk lewat pasar modal, untuk mendirikan bank di Indonesia. Menjamurnya bank-bank gelap memanfaatkan pertumbuhan bank untuk mendapatkan bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga membuka lembaga keuangan non bank sebagai alat untuk memobilisasikan dana jangka panjang untuk membiayai investasi perusahaan. Lembaga ini didirikan dalam bentuk kongsi antara mereka yang mempunyai kepentingan perbankan didalam negeri maupun diluar negeri. Lembaga ini berfugsi seperti bank meskipun tidak menerima giro dan cenderung mempunyai nasabah perusahaan-perusahaan besar. Bursa efek dihidupkan dan disempurnakan.
Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja , mobilisasi dana deposito dan tabungan semakin kompetitif. Banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank. Pertimbangan pemerintah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 sampai 1994 untuk menguatkan perbankan di Indonesia.
Tahun  1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksaan yang mengatur syarat bahwa modal sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8% dari seluruh aset, diyakini banyak bank mempunyai kecukupan modal sangat rendah, dibawah 5% malah ada yang negative. Maret 1992 pemerintah mengeluarkan UU perbankan no 7 yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru yakni : susunan organisasi, permodalan, kepemilikan ,keahlian dibidang perbankan ,kelayakan kerja dll. Menaikan modal minimum dari Rp.10 miliar menjadi Rp. 50 miliar pertumbuhan bank baru masih terus berlanjut hingga 1994. Banyak bank dikusasai oleh konglomerat yang menyuburkan praktek pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya yang dianggap masih terlalu lunak.
Meledaknya jumlah bank diikuti kompetisi perekrutan tenaga kerja, terjadi heboh pembajakan karyawan bank. Dalam hal mobilisasi dana masyarakat dan usaha untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati-hati dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan, tingkat bunga tinggi yang akhirnya diikuti oleh kredit macet yang menggunung. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan para konglomerat pemilik bank terjun ke dunia politik untuk memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber daya ekonomi yang berujung ada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit bantuan likuiditas yang disalahgunakan.
Pembenahan dan penguatan system perbankan masih terus dijalankan, misalnya melonggarkan aturan soal CAR, pemberian kredit bagi grup usahanya, pengaturan kredit usaha kecil, cadangan wajib minimum bagi perbankan,dll. Juli 1997 ditentukan pembatasan pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembangan property dan kebijaksaan dan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya kredit macet dibidang tersebut. Pengumuman pemerintah pada 1 November 1997 untuk melikuidasi 16 bank secara serenta dan 22 April 1998 mengumumkan 54 bank dimasukkan kedalam program penyehatan dibawah BPPN. Sejumlah bank lain  akan melakukan merger, termasuk bank milik pemerintah.
Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong parah dibanding Malaysia, Korea Selatan dan Thailand. Di Amerika Latin pun tidak separah dengan di Indonesia. Jumlah bank kian menyusut. Bank besar jumlahnya sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah menjadi 180 buah per juni 2000. Penguatan dan pembenahan baru membuka lembaran baru menuju system perbankan yang sehat. Tahun 2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing.
9.4       Nilai Mata Uang Rupiah
            Salah satu fungsi dari uang (uang rupiah) adalah sebagai satuan hitung. Untuk mengukur hal yang sama, satu satuan hitung yang baik harus memberikan nilai yang sama, tidak tergantung dari waktu dan tempat. Seperti halnya dengan kilogram (Kg) atau meter masing-masing sebagai satuan hitung untuk berat dan panjang. Namun tidak demikian halnya dengan mata uang (rupiah). Yang diukur misalnya satu sepatu. Sepatu yang persis sama, mestinya mempunyai satuan hitung yang sama untuk tahun depan atau di tempat lain. Namun dalam banyak hal tidak demikian halnya. Malah pemerintah atau Bank Indonesia secara tegas-tegas merancang bahwa nilai uang rupiahuntuk satu periode di masa datang (periode depan) mengalami penurunan tidak sampai dua digit. Atau dengan kata lain, pemerintah merencanakan penurunan nilai rupiah (inflasi) tidak mencapai dua digit.
9.4.1    Nilai Dalam Negeri (Inflasi)
            Di dalam negeri nilai uang rupiah ditentukan berdasarkan daya belinya, yakni kemampuan dari uang itu untuk mendapatkan barang dan jasa. Dalam keadaan sehari-hari, nilai rupiah yang turun terhadap barang dan jasa pada umumnya (bukan hanya satu barang) dikatakan bahwa harga barang dan jasa mengalami kenaikan. Keadaan yang demikian ini disebut inflasi. Keadaan sebaliknya disebut deflasi. Jadi nilai rupiah didalam negeri ditunjukkan oleh ada tidaknya gejala umum penurunan harga (deflasi) atau adanya gejala umum kenaikan harga (inflasi).
            Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua brang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada brang lainnya. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Pengelompokkan inflasi ke dalam 7 jenis pengeluaran didasarkan pada apa yang dikenal sebagai the Classification of individual consumption by purpose atau COICOP. Indikator Inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain :
1.      Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) yaitu harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas satu komoditas.
2.      Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam satu ekonomi (negeri).
Sumber dari penyebab inflasi juga penting untuk diperhatikan, yaitu karena adanya penambahan uang beredar seperti pada masa pemerintahan Soekarno (deficit spending).
9.4.2    Nilai Rupiah dalam Valuta asing (Devaluasi)                    
            Naik/turunnya nilai satu mata uang relatif terhadap mata uang lainnya yang ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran disebut mata uang tersebut mengalami apresiasi/depresiasi.  Nilai rupiah dalam valuta asing adalah jumlah valuta asing yang diperoleh dari penukaran satu unit rupiah. Pencatatan kurs yang dilakukan di Indonesia tidak konsisten dengan definisi 9ni. Penentuan kurs valuta asing bisa dikerjakan melalui perbandingan jaminan (mint) atau daya beli (Purchasing power) dari masing-masing mata uang. Indonesia telah melakukan devaluasi beberapa kali, yakni pada masa pemerintahan Soekarno dan Suharto, dan tidak ada lagi melaksanakan karena kurs valuta asing diserahkan pada kekuatan pasar sejak krisis 1997. Devaluasi mempunyai aki bat mendorong ekspor dan mengekang impor.

Sumber :

Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar