Minggu, 12 Maret 2017

RMK PEREKONOMIAN INDONESIA SAP 6

RMK SAP 6
1.      Distribusi Pendapatan
Dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Ada indicator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
a.       Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang tidak peduli darimana sumbernya, entah itu berasal dari gajinya karena bekerja atau berasal dari sumber lain seperti bunga, tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan. Selain itu lokasi sumber pendapatan (desa atau kota) maupun sector atau bidang kegiatan yang menjadi sumber pendapatan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
Biasanya populasi dibagi menjadi lima kelompok (quantiles) atau sepuluh kelompok (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan beberapa proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok dari pendapatan nasional total.
Ada 3 alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran :
(1)   Rasio Kutnezz
Rasio ini sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem yaitu kelompok yang sangat miskin dan selompok yang sangat kaya disatu Negara.
(2)   Kurva Lorenz
Kurva ini menunjukkan hubungan kuantitatif actual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama, misalnya satu tahun.
(3)   Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Perangkat terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relative disatu Negara adalah dengan menghitung rasio bidang yang terletak diantara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat dimana kurva Lorenz tersebut berada. Koefiseieb gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
b.      Distribusi Fungsional
Disebut juga pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of income) ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan bukan sebagai unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan laba.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga persatuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf minimum) maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut.
c.       Perkembangan Indeks Ketimpangan
Distribusi lebih timpang pada waktu pemerintahan Sukarno, lebih kurang timpang (lebih merata) pada pemerintahan Suharto. Pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan yang termasuk pada ketimpangan yang sedang. Pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata di bandingkan pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi diluar Jawa yakni dipedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan diperkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan didaerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkab oleh orang kaya diperkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan menjadi timpang. Hal ini sebeliknya terjadi dipedesaan Jawa yakni program pembangunan pertanian dan pedesaan terutama program BIMAS-INMAS lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih merata (koefisien gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan diperkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan dipedesaan menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
2.      Kemiskinan
Kemiskinan adalah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu – atau dibawah “garis kemiskinan interasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar Negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan perkapita disatu Negara dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar Negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 perhari dalam dolar paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolute dapat dan memang terjadi dimana mana di Jakarta, Bali, Nusa Penida, Medan walupun kadarnya berbeda beda dari satu tempat dan tempat lainnya.
a.       Mengukur Kemiskinan Absolut
Dapat diukur dengan angka atau “hitungan per kepala (headcount)”, H untuk mengetahui seberapa banyaknya orang yang penghasilannya berada dibawah garis kemiskinan absolute Yp. Ketika hitungan perkepala dianggap sebagai bagian dari populasi total, N kita memperoleh indeks per kepala (headcount indeks), H/N. garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolute sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum dimana seseorang hidup dalam “kesengsaraan absolute manusia” yaitu ketika kesahtan seseorang sangat buruk.
Indicator jurang kemiskinan yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih dibawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Sebarapa jauh pendapatan kelompok miskin berada dibawah garis kemiskinan. “kekurangan pendapatan total” atau jurang kemiskinan total (total poverty gap = tpg) dari kaum miskin didefinisikan sebagai :
TPG =
b.      Cakupan Kemiskinan Absolut
Jumlah dan persentase penduduk miskin untuk 1976-1999 dan garis kemiskinan di Indonesia untuk tahun 2005 sampai 2007. Bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase penduduk miskin dari lebih dari 40% dari jumlah penduduk (sekitar 54 juta orang). Pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34% dari jumlah penduduk (22,5 juta orang) pada tahun 1996 untuk akibat krisis ekonomi meningkat 23% dari jumlah penduduk (37 juta orang). Pada tahun 2007. Dapat dikatakan bahwa persentase yang cukup tinggi dari seluruh penduduk Indonesia (16-18%) masih berada dibawah garis kemiskinan dan merupakan tugas yang berat bagi pemerintah sekarang adalah pemberantasan kemiskinan atau masalah kemiskinan menjadi tujuan pembangunan millennium dewasa ini di Indonesia.
c.       Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin
Tingginya tingkat pendapatan perkapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolute. Diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa yang termasuk dalam kelompok miskin dan apa saja karakteristik mereka.
-          Kemiskinan di pedesaan dan daerah pantai
Mata pencaharian pokok dibidang pertanian, perikanan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan sector ekonomi tradisional kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa dan berkonsentrasi diantara kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah justru lebih tercurah kedaerah perkotaan dan berbagai sector ekonomi yakni sector manufaktur modern dan sector komersial. Nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani, karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak bersifat cultivation seperti halnya pertanian. Sehingga nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi disbanding produk ikan. Status pekerjaan kepala rumah tangga miskin sebagai buruh, di pedesaan buruuh disektor pertanian tidak memiliki tanah sendiri. Diperkotaan sebagian besar dari rumah tangga buruh miskin mempunyai sumber penghasilan utama disektor industry, bangunan dan jasa.
3 faktor pertanian merupakan pusat kemiskinan di Indonesia :
1.      Tingkat produktivitas yang rendah
2.      Daya saing petani antar komuditas petani terhadap komuditas industry semakin lemah.
3.      Tingkat diversifikasi usaha disektor pertanian ke jenis-jenis komuditas bukan bahan makanan yang memiliki prospek pasar dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.
-          Kaum wanita dan kemiskinan
Merekalah yang paling menderita kemiskinan serta kekurangan gizi dan mereka pula yang paling sedikit menerima pelayanan kesehatan, air bersih dan berbagai bentuk jasa social yang lainnya. Sebab-sebab pokook atas terjadinya fenomena itu adalah banyaknya wanita yang menjadi kepala rumah tangga, rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka dalam memiliki pendapatan sendiri, serta terbatasnya control mereka terhadap penghasilan suami, akses kaum wanita ternyata juga sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak disektor formal, berbagai tunjangan social dan program-program penciptaan lapangan kerja yang dilancarkan oleh pemerintah.
-          Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi dan Kemiskinan
Seringkali mengalami diskriminasi social, politik maupun ekonomi yang serius.
d.      Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Jumlah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi langsung maupun tidak langsung tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat pertumbuhan output (atau produktivitas tenaga kerja), tingkat upah neto, distribusi pendpatan, kesempatan kerja (termasuk jenis pekerjaan yang tersedia), tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, ketersediaan fasilitas umum (pendidikan dasar, kesehatan, informasi,transportasi, listrik, air, dan lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disatu wilayah, etos kerja dan motivasi kerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam dan peperangan. Faktor tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
e.       Pertumbuhan dan Kemiskinan
Pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan structural pertumbuhan modern. Pembuat kebijakan mengatakan pengeluaran public yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan. Konsentasi penuh untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan sebanding dengan argument yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan yang rendah akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat juga.
Ada 5 alasan kebijaksanaan yang ditujukkan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan
(1)   Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan dimasa tuanya nanti.
(2)   Akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh Negara-negara yang sekarang sudah maju kaum kaya di Negara miskin sekarang tidak dikenal karena hematnya hasrat untuk menabung dan berinvestasi.
(3)   Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan miskin yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan menyebabkan perekonomian tumbuh melambat.
(4)   Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan local seperti makanan dan pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk barang mewah impor.
(5)   Penurunan kemiskinan secara missal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologi yang kuat bagi meluasnya partisipasi public dalam proses pembangunan. 
3.      Pilihan Kebijaksanaan
Ada beberapa pilihan yakni :
(1)   Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relative faktor produksi. Dapat berupa :
a.       Upah buruh , dilaksanankan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan regional seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Para investor menganggap buruh menjadi terlalu mahal sehingga mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja.
b.      Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal yang terlalu murah dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran.
(2)   Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset diantara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal financial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
(3)   Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, merupakan pajak property perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.

(4)   Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa public. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa public dilksanakan melalui beras murah untuk orang miskin, penyediaan asuransi kesehatan bagi golongan miskin.

DAFTAR PUSTAKA
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar