1.
Kebijaksanaan
Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan Belanda
System
perekonomian Belanda yakni kapitalistik, perkembangan di sector pertanian
diserahkan sepenuhnya pada permintaan dan penawaran. Belanda tidak punya lahan
yang cukup luas untuk pertanian, di Indonesia wilayah pertanian sangat luas.
Perkembangan sector ini atas kekuatan pasar terutama subsector perkebunan yang
sebagai perusahaan besar swasta yang hasilnya diekspor dari daerah jajahan ke
pasar di Eropa sebagai bahan mentah untuk perkembangan industrinya. Teknologi
perkebunan diserahkan agar secara mandiri dikembangkan oleh perusahaan
perkebunan besar.
Beras
adalah bahan makanan pokok di Indonesia dan pegawai pemerintahan jajahan serta
pegawai swasta perkebunan besar dibayar dengan beras sebagai bagian dari
gajinya. Pemerintah Belanda mempunyai kepentingan agar harga beras selalu
murah. Dengan politik harga beras murah ini dapat dikatakan bahwa beras adalah
komuditas politik disamping komuditas ekonomi. Tahun 1911 ketika penghasilan
petani jatuh akibat depresi dunia Belanda menjalankan kebijaksanaan Olie Vlek
yakni satu program penyuluhan percontohan yang bertujuan untuk menyebarluaskan
cara-cara bertani yang lebih baik. Namun sangat terbatas jangkauannya.
Tahun
1933 impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh
Pemerintah. Pemerintah berusaha menggalakkan perdagangan beras antar provinsi
dengan tujuan agar daerah deficit beras di luar Jawa memperoleh tambahan beras
dari daerah surplus seperti Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan. Tahun 1939 perlu
dibentuk suatu badan pemerintahan khusus untuk melaksanakan dan mengawasi
kebijaksanaan pemerintah yang sudah menjadi begitu luas dalam pemasaran beras. April 1939 dibentuk Stitchting Het
Voedingsmidlenfons (VMF). Merupakan badan pengendalian dibidang pangan yang
sangat penting dalam masa orde baru. Pendirian VMF merupakan cerminan pandangan
pemerintahan Belanda dan pemerintah Indonesia bahwa masalah beras sangat
penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah.
Jepang
memasuki Indonesia dan mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Jepang
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan militer. Perekonomian Indonesia
sehabis perang masih tidak banyak berbeda dengan perekonomian sebelum perang.
Ekspor hasil-hasil pertania seperti kopra,karet,the,kopi dan tembakau tetap
merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir tahun 1960an.
2.
Kebijaksanaan
Pangan pada Pemerintahan Orde Lama
Dalam
subsector tanaman pangan (beras), kebijaksanaan yang sebelumnya ditempuh
Belanda yang terutama sekali untuk menjaga stabilitas harga beras selama masa
kekurangan maupun kelebihan, dialihkan menjadi kebijaksanaan yang ditujukan
untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas
mengelola administrasi dan keamanan Negara muda ini (pegawai negeri sipil dan
militer). Menurut Timmer proses politisi system pemasaran beras ini bertolak
belakang dengan kenyataan bahwa beras sama sekali tidak dianggap barang politik
oleh produsennya (para petani padi). Kepentingan utama petani padi adalah
penghasilannya sendiri.
Di
bidang produksi, beberapa program swasembada dilaksanakan dalam tahun 50an dan
60an. Terbatasnya devisa untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan
produksi dalam negeri melatar belakangi masa ini. Program Padi Sentra dimulai
1959 yang bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 adalah satu program yang
gagal. Mewariskan satu contoh organisasi bagi BUUD dan KUD serta BRI unit desa
dalam fungsinya sebagai saluran pemasaran bagi sarana produksi dan hasil
produksi pertanian.
Pada
tahun 1963 Presiden Sukarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung.
Perubahan jatah pns dan militer menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini
menimbulkan reaksi negative dari kalangan masyarakat, sehingga kemudian
dihentikan. Pada tahun 1963 dilakukan penyuluhan oleh mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia yang menjadi Institut Pertanian Bogor,
merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya program Bimas (Bimbingan Massal)
yang memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi produksi padi
yang dilaksanakan secara besar-besaran selama 10 tahun pertama Orde Baru. Di
mulai 1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni 5 cara ke
arah usaha tani yang baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara
bercocok tanam yang baik dan koperasi yang kuat. Mahasiswa penyuluh hidup dan
bekerja bersama dengan petani di desa. Bidang tanggungjawab mahasiswa dibatasi
dengan jelas sehingga menumnuhkan hubungan yang dekat dan kepercayaan petani.
Pemerintahan
orde baru mulai memegang kekuasaan, sector perberasan di Indonesia berada dalam
keadaan yang sangat menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2% lebih tinggi
dari tahun 1954: tingkat produksi yang terakhir ini hanya kurang lebih sama
dengan tingkat produksi sebelum perang Dunia II sehingga mengakibatkan makin
membesarnya deficit beras bagi Negara. Tahun 1960an lebih dari satu juta ton
beras diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah
satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikkan
produksi beras melalui program Bimas.
3.
Kebijaksanaan
Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru
Sejak
awal pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup.
Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru
diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi:BRI memerlukan bantuan
dala usahanya memenuhi kebutuhan dana para petani. Pertengahan 1966, Kolognas
suatu badan yang dibentuk untuk menangani masalah logistic distribusi
barang-barang kebutuhan pokok, diberi tugas tambahan untuk menyalurkan dana
bagi pengikut Bimas. Devisa yang tersedia untuk mengimpor pupuk masih sangat
terbatas dan system distribusi masih kurang efisien. Target Bimas ditentukan
pada tingkat yang cukup optimis dapat dicapai. Impor beras juga terhambat,
tidak memncapai tingkat yang diperlukan. Bulognas kemudian dibubarkan pada
tahun 1967 diganti dengan Bulog, sebuah badan yang mengelola persediaan pangan
dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Tahun
1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastic akibat musim kering yang
melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak 300% dalam tahun itu. Terjadi
krisis beras. Sebuah perusahaan swasta, Mantrust mendirikan pabrik beras
sintetis, bernama beras Tekad, terbuat dari ramuan tepung gandum yang dicetak
menyerupai beras. Usaha ini gagal karena lebih menyerupai bubur daripada nasi.
Tahun
1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah dan perubahan ini
merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup
untuk memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang
stabil. Dicetuskan “rumus tani” yang dijadikan pegangan dalam kebijaksanaan
harga.
Program
Bimas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas Gotong
Royong disamping Bimas biasa pada awal musim tanam 1968. Pemberian kredit dan
distribusin pupuk dan pestisida dari luar negeri melalui kepala desa. Dana,
bibit dan nasehat kepada para penyuluh juga disediakan oleh
perusahaan-perusahaan tersebut. Bulog membayar perusahaan asing atas pelaksanaan
program ini dan nantinya bulog menerima pembayaran dalam bentuk gabah melalui
para kepala desa. Kelemahan pada Bimas Gotong Royong merupakan pelajaran yang
sangat berguna untuk memperbaiki system Bimas yang terus dilaksanakan.
Meluasnya teknologi bibit unggul, program
Bimas dikaitkan dengan konsep unit desa yang ditunjang dengan system kredit
melalui bank keliling BRI yang menggunakan tenaga terlatih. System distribusi
pupuk dibuka untuk usaha swasta dan perusahaan Negara, Pertani dan Pusri,
sehingga menjadi lebih kompetitif.
Repelita I, II, III … Repelita V. menutup
kekurangan Bimas dan melalukan perbaikan program Bimas dan program yang
menyangkut produksi beras lainnya. Bulog bertugas untuk mengelola buffer stock dan telah berhasil
melaksanakan kebijaksanaan harga yang stabil. BUUD bertugas ikut serta dalam
harga minimum dengan cara memberikan persaingan terhadap para pedagang dibidang
pembelian padi petani. Program intensifikasi diperluas tidak saja untuk padi
tetapi juga jagung, kacang tanah, dan kedelai disamping juga dilaksanakan
program ekstensifikasi melalui perluasan area tanam. Pemerintah juga
melaksanakan program Keluarga Berencana Nasional dengan tujuan mengurangi
tingkat fertilisasi penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan kebutuhan
manusia akan bahan makanan beras juga dapat dikekang. Tahun 1984 Pemerintah
Indonesia telah menyatakan tingkat swasembada beras tercapai.
Periode setelah swasembada beras.
Perekonomian Indonesia malah mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga
akhirnya dilanda krisis pada tahun 1997/8. Sampai dengan pergantian
pemerintahan ke Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden SBY,
kebijaksanaan pangan telah dikelabui oleh kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa
krisis
Kondisi
ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan
produksi padi agak melandai. Lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi.
Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan
varietas unggul desertai dengan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu
(PTT). Penerapan kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi
infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani
mengadopsi teknologi maju telah mengakibatkan 4 tahun terakhir (2005-2008)
produksi padi menaik dengan persentase kenaikan yang meninggi dari tahun ke
tahun. Tahun 2008 produksi tanaman padi menembus angka 60 juta ton Gabah Kering
Giling (GKG) pertama dalam sepanjang sejarah Indonesia.
Tahun
2008 Indonesia dikatakan Negara yang berswasembada beras. Pencapaian status
swasembada beras tahun 2008 terasa sangat istimewa karena pada tahun itu dunia
tengah mengalami krisis pangan. Stok beras dalam negeri pun bertambah.
4.
Pembangunan
Tanaman non Pangan
Tanaman
non pangan meliputi mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa sawit, panili,
kakao, karet dsb. Tanaman pangan disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan,
tanaman pohon, tanamas kas. Pada jaman Belanda diserahkan kepada perusahaan
besar perkebunan. Tumbuh diladang kering dari penjajahan Belanda, akhir pemerintahan
Sukarno dan awal pemerintahan Suharto lading rakyat terlantar kosong dan tidak
ditanami. Pertengahan 1970an baru tanaman pangan memperoleh perhatian.
Direktorat Tanaman Perkebunan (non pangan) mereka mengembangkan bibit unggul
dan tanaman perkebunan baru diantaranya tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa,
kelapa sawit dsb. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat dengan
bantuan kredit sehingga dikenal dengan adanya RPTE (Rencana Pengembangan
Tanaman Ekspor). Untuk didaerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan
yang menonjol adalah cengkeh dan panili. Petani berlomba-lomba menanamnya.
Pendekatannya hamper sama dengan bidang beras, yakni induced technology dengan
dan tanpa kredit yakni pendekatan produksi.
Panen
yang berlimpah ternyata agak terlantar. Timbul gagasan membuat pabrik rokok
baru agar cengkeh rakyat tertampung, juga gagasan mendirikan badan penyangga
harga untuk komuditas tertentu, seperti halnya bulog untuk padi. Yang telah
terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC (badan penyangga pemasaran
cengkeh). Terjadi masalah keuangan sehingga terjadi masalah dalam pemasaran
cengkeh. Akhirnya para petani disarankan menebang pohon cengkehnya dengan biaya
sendiri untuk menjaga agar harga tetap stabil.
Negara
maju membeli kopi rakyat dan dibuang kelaut untuk mempertahankan harga dan ada
kelebihan produksi, pemerintah membeli hasil produksi rakyat untuk kemudian,
kerena tidak ada pembeli potensial, disumbangkan keluar negeri. Maka sebabnya
kita mengenal dan melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah
dasar, yang tidak lain sumbangan dari Negara maju karena kelebihan produksi.
Stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah. Indonesia
mengalami kesulitan dana sehingga masalah diserahkan pada petani sendiri.
Periode
2000-2003 kelapa sawit, karet dan kakao tumbuh pesat disbanding tanaman yang
lain. Pertumbuhan yang pesat berkaitan dengan keuntungan pengusaha kemuditas
tersebut relative lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong area
perluasan areal komuditas tersebut. Merupakan salah satu faktor pendorong
peningkatan produksi. Subsector perkebunan memegang peranan penting yakni
penyediaan lapangan pekerjaan, devisa, pengentasan kemiskinan, pembangunan
pedesaan dan pelestarian lingkungan.
Sejalan
dengan pertumbuhan PDB, subsector perkebunan mempunyai peran strategis terhadap
pertumbuhan ekonomi. Ketiks krisis moneter 1997 sub sector perkebunan kembali
menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun.
Ketika ekonomi Indonesia mulai membaik, kontribusi dalam hal pertumbuhan terus
menunjukkan kinerja yang konsisten.
Subsector
perkebunan menyumbang devisa karena mampunyai orientasi pasar ekspor. Produk
karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah produk dimana lebih dari 50% dari
total produksi adalah untuk ekspor. Pengembangan berbagai program perkebunan
telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Suatu studi oleh Susila (2004)
menunjukkan bahwa jumlah oarng miskin diwilayah perkebunan kelapa sawit secara
umum kurang dari 6% sedangkan secara nasional jumlah penduduk miskin adalah
sekitar 17%.
Kontribusi
dalam ketahanan pangan . minyak goring dan gula merupakan produk perkebunan
yang mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan. Pengembangan
komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi sector
perkebunan dalam memelihara lingkungan. Misalnya pengembangan komoditas kelapa
sawit dilahan rawa juga merupakan wujud kontribusi subsector perkebunan dalam
memelihara lingkungan.
5.
Perubahan
Struktur Ekonomi
a. Peran Sektor Pertanian
Dengan adanya pembangunan
ekonomi peran sector pertanian biasanya mengalami penurunan dibarengi dengan
makin meningkatnya sector lain seperti industry dan jasa. Sector pertanian pada
umumnya memgang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi satu
Negara.
Peran tersebut antara lain :
1) Menyediakan
surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat.
2) Meningkatkan
permintaan akan produk industry dan dengan demikian mendorong keharusan
diperlusnya sector sekunder dan tersier.
3) Menyediakan
tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi pembangunan melalui
ekspor hasil pertanian.
4) Meningkatkan
pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah (tabungan).
5) Memperbaiki
kesejahteraan masyarakat pedesaan.
b. Perubahan Struktur
Perubahan struktur satu perekonomian biasanya
ditandai oleh besarnya sumbangan dari masing-masing sector terhadap penghasilan
nasional atau terhadap produk domestic bruto. Kalau dalam satu perekonomian
sumbangan sector pertanian yang paling besar misalnya 50-60% adalah Negara
agraris. Kalau sumber industry yang menonjol disebut Negara industry. Kalau
sector jasa yang menonjol disebut Negara jasa. Jadi perubahan struktur ekonomi
yang umum adalah dari agraris-industri-jasa.
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:UUP
makasiii kakak
BalasHapus